Kasus
Kerusuhan AMBON.
·
Peristiwa
Kerusuhan Tanggal 19-23 Januari
Kerusuhan
dicetus (trigering factor) ditiga wilayah sekaligus : Simpang Tiga antara Batu
Merah-Amantelu dan Galunggung, Jalan depan Gereja Silo dandaerah Rajali.
Peristiwa
perkelahian antara seorang sopir dan preman di Simpang Tiga antara Batu Merah,
Amantelu dan Galunggung justru adalah sebuah peristiwa yang sama sekali tidak
berhubungan dengan apa yang secara sangat cepat berubah menjadi pertikaian
antar kelompok agama. Pada saat yang sama ditempat yang berbeda-beda, ternyata
konsentrasi massa terjadi pula dengan isu pertikaian agama, dan dugaan akan
terjadinya penyerangan oleh kelompok lain, seperti dikalangan Kristen beredar
isu bahwa ada sebuah gereja dibakar, sementara dikalangan Islam juga telah
beredar bahwa masjid Al-Fatah juga telah dibakar. Padahal, pada saat itu apa
yang diberitakan tersebut tidak terjadi kebakaran pada obyek yang disebutkan.
Kerusuhan
tanggal 19 Januari terjadi begitu cepat dan menyebar dalam konsentrasi massa
dalam jumlah yang cukup besar di beberapa tempat antara pukul 15.30-16.45 WITA.
Konsentrasi
massa dalam jumlah besar berada di Silo dengan lima sampai enam ribu orang,
akibat isu akan memperoleh serangan dan telah terhadi pembakaran gereja,
sehingga harus merespon dan mempertahankan diri. Dalam jumlah yang cukup besar
terjadi pula di daerah Mahardika, Rijali, Waringin, Kudamati, AR .Sarobar, Way
Haung dan beberapa tempat lain. Massa juga berkonsentrasi untuk mengajukan
konvirmasi isu penyerangantempat beribadah tersebut. Konsentrasi itu, berubah secara
mendadak menjadi kerusuhan, berupa perusakan dan penyerangan antar kelompok
terjadi dengan lokasi di berbagai tempat di hampir seluruh kota Ambon.
Perusakan atau pembakaran mengarah pada tempat-tempat ibadah baik masjid maupun
gereja, rumah-rumah penduduk dan pertokoan serta pasar.
Tanggal
20 Januari, berkembang isu masjid AL-Fatah terbakar. Hal itu berakibat reaksi
massa dari Hila secara serentak berjalan menuju kota Ambon dan terseret ke
dalam kerusuhan dan penyerangan. Beberapa laporan menunjukan adanya kelompok
asing mempengaruhi akselerasi massa dengan bantuan alat komunikasi berupa HT
dan handphone serta membawa senjata api. Aparat melakukan reaksi yang sama
terjadi sebagaimana pada sebelumnya.
Perusakan
dilakukan secara bergelombang oleh kelompok-kelompok massa dengan para
pemimpinnya yang mengorganisasi gerak massa maupun memprovokasinya dengan
memanfaatkan sentimen agama dan suku. Yang aneh dalam provokasi tersebut
terdapat kata-kata dan istilah yang tidak lazim digunakan di Ambon.
Setalah
kerusuhan reda, aparat keamanan melalui Kapolri segera mengumumkan bahwa
situasi aman dan terkendali. Pada saat yang sama warga Ambon yang ketakutan
masih berusaha mengungsi ketempat-tempat yang dianggap aman.
Kerusakan
total hampir terjadi di setiap sudut kota Ambon. Namun dari sinipun terlihat
beberapa hal yang janggal : yakni, rupanya pada saat kerusuhan terjadi telah
dilakukan pemilihan sasaran perusakan maupun pembakaran. Hal ini terbukti dari
adanya beberapa bangunan seperti Swalayan Matahari yang utuh tak tersentuh
perusuh, sementara hampirseluruh bangunan disekelilingnya rusak total. Hal
sejenis terjadi di pertokoan-pertokoan tertentu lainnya. tanpa mampu melakukan
koreksi yang efektif dan upaya peredaman serta pemecahan akar masalah.
Soal
1. Bagaimana
memposisikan diri ditengah masyarakat
yang sedang berkonflik seperti konflik di Ambon?
2. Bagaimana caranya mendekati 2 kubu prokontra (pemimpin)
yang sedang berkonflik?
3. Jelaskan
satu cara untuk menyelesaikan konflik tersebut?
4. Apa
yang harus dilakukan untuk mendinamisasikan (menjaga) agar kubu yang berkonflik
mau bersama-sama hidup berdampingan?
JAWABAN
- Jika ada konflik didekat maka saya harus ada bersama-sama dengan konflik tersebut. Karena rasa ingin tahu, pada saat terjadi konflik apa yang menyebabkan konflik tersebut terjadi/ jangan keluarnya bagaimana? Tapi tetap ada jarak. Mencari tahu dulu apa permasalahannya tetapi tidak langsung terlibat. Rasa ingin tahu, jarak dibuat agar lebih obyektif terhadap konflik, dan bisa memberikan langkah-langkah mengatasi konflik. Dekat karena tidak suka kalau terjadi konflik, maka perlu didatangi dan diselesaikan. Kalau memang ini konflik perlu dihadapi ya harus dihadapi. (menghadapikenyataan) dan sebagai bagian dari masyarakat kita harus bisa memposisikan sebagia penengah anatara dua belah pihak dan sebagai agen perubahan agar konflik mereda dan mau hidup berdampingan.
- Dengan cara yaitu orang ketiga yaitu orang yang dekat dengan para pemimpinnya yang mengorganisasi gerak massa masing-masing tersebut. Kemudian dipertemukan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
- Sebagai change agent perlu membutuhkan waktu untuk mempelajari konflik yang sedang terjadi dan mengenal dan menganalisis kehadiran konflik yang terjadi , sebab, dan bentuknya, dan dalam banyak hal, akibatnya dalam perubahan sosial. Dengan demikian, konflik perlu dikelola. Konflik yang tidak dikelola dapat menimbulkan perubahan sosial yang tidak diharapkan, sementara konflik yang dikelola dapat mengarahkan perubahan sosial ke arah yang diharapkan. Selain menganalisis kehadiran konflik change agen harus bisa menganalisis sebab-sebab munculnya konflik seperti pertanyan-pertanyaan : situasi apa yang melatari suatu konflik? Bagaimana situasi tersebut terbentuk di dalam masyarakat? Isu apa saja atau pokok persoalan apa yang menjadi pertikaian?, Sikap dan persepsi apa yang dimiliki pihak-pihak yang berkonflik sehubungan dengan sehubungan dengan lawan? Bagaimana sikap dan persepsi itu terbentuk dan bertahan?, Perilaku konflik apa saja yang ditunjukkan oleh pihak-pihak yang bertikai? Lalu, strategi, taktik, atau alat apa yang digunakan dalam perilaku konflik? Dengan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai konflik. Pemahaman konflk itidak hanya menekankan pada satukomponen saja khususnya komponen perilaku sehingga komponen lain kurang memperoleh perhatian semestinya.Karena itu, beberapa pertanyaan semacam dapat diajukan untuk keperluan analisis konflik,. Selain itu sebagai change agen juga harus bisa memikirkan konflik antarkelompok, yakni bagaimana mengubah konflik, pertikaian, atau perselisihan menjadi sebuah bentuk kerja sama konflik antarkelompok itu akan berubah menjadi kerja sama antar kelompok apabila kepada mereka diintroduksikan superordinate goals secara meyakinkan bahwa hal-hal yang membuat mereka saling bermusuhan itu, ada hal yang jauh lebih penting untuk dihadapi bersama.
Setelah mempelajari maka membutuhkan orang
ketiga atau orang yang dekat dengan para pemimpinnya yang mengorganisasi gerak
massa masing-masing tersebut. Setelah
itu dipertemukan kedua pimpinan tersebut. Pada saat bertemu kedua pimpinan, kita dan orang
yang dekat dengan pimpinan masing-masing meluruskan permasalahan dan mencari
akar permasalahan dan mencari solusi atas permasalahan kemudian dengan pertanyaan seperti apa sumber konflik?, Siapa pihak-pihak yang terlibat?, Apa pokok
issue konflik?, Apa yang berubah dalam
konflik seiring dengan waktu?, Bagaimana konflik meluas sehingga melibatkan
lebih banyak pihak, wilayah, dan issue
konflik?, Apa hasil dan akibat yang ditimbulkan konflik? dan yang harus
dilakukan adalah dengan pertemuan secara simbolik yang menghasilkan kesepakatan
perdamaian antara para pemuka masyarakat, para pemimipin agama , dan aparat keamanan. Penandatanagan kesepakatan dan
ditanda tangani oleh para pemimpinnya yang mengorganisasi gerak massa
masing-masing dan disaksikan oleh saksi yang bertanggung jawab.
a.
Menurut
teori konflik Karl. Marx yaitu Teori-teori konflik pada umumnya
memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran
konflik dalam kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya
dalam menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik
merupakan teori terpenting pada saat kini, oleh karena penekanannya pada
kenyataan sosial di tingkat struktur sosial dibandingkan di tingkat individual,
antarpribadi atau budaya. Sehingga konflik yang terjadi antar agama, ditengarai
bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara mereka, melainkan lebih
sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara kepentingan-kepentingan
mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka dalam masing-masing kelompok
agama mereka.
Diantara para
perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama—dan yang paling
kontroversial—yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap
peningkatan perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa
potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun
memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang
distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.
Segi-segi
pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai
masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang
mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam
pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas
ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur
tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam
struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para
pelakunya.
Terdapat
beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan
oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah, pengakuan terhadap adanya struktur
kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan diantara
orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi
terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari
konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal
yang sangat penting.
Marx lebih
cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan
usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi
mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai kepentingan
yang berbeda dan bertentangan yang mungkin dikelabui oleh munculnya konsensus
nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan norma ada, para ahli
teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari kelompok
dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi (seperti lembaga
pendidikan dan lembaga media massa), dimana kesadaran individu dan komitmen
ideologi bagi kepentingan kelompok dominan dibentuk. Dalam konflik Ambon, Marx
akan melihat bentuk-bentuk konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan
adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—untuk
memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan
sebagai alat untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa.
Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya
mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan
mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Marx mengakui
pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam
struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan secara mendalam mengenai
bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam hubungannya dengan struktur ekonomi
dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara kepercayaan individu dan
nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal yang ditentukan
atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan
seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal ini
tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu” dan “kesadaran
sesungguhnya”. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik
Marx , sangat jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan
secara nyata terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan pengklaiman
golongan yang satu terhadap golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan
dihambat serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga
terjadi suatu kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang
termarjinalisasi (dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya
proses-proses pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk
hingga selama 32 tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan
revolusioner” berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang
dianggap dominan yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan
revolusioner terbuka tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh
karena bisa jadi bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu.
Demikian juga, orang-orang dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan
untuk puas dengan posisi kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan
kepentingan mereka yang sesungguhnya sebagai manusia.
Terlepas dari
persoalan setuju atau tidak setuju terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa
segi kenyataan sosial yang ia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori
apapun, antara lain adalah pengakuan akan adanya struktur kelas dalam
masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang
dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap
gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik
kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan
ini jelas ada, yaitu pertentangan ekonomi antara kelas-kelas yang relatif
secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan kelompok Kristen yang secara ekonomi
dianggap marjinal—sekurang-kurangnya anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian,
akan jelas terlihat nyata bahwa perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang
termarjinalisasi, akan menambah runcingnya perbedaan yang ada.
Saling
ketergantungan antara tindakan individu dan kelompok yang bersifat harmonis,
merupakan hasil dari orientasi-orientasi nilai yang dianut bersama oleh
pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan bahwa penyesuaian diri dengan
harapan-harapan pihak lain akan memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Teori
konflik Marx juga menerima kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu
dalam kehidupan sosial, namun secara umum Marx melihat bahwa adanya saling
ketergantungan tersebut, sesungguhnya merupakan rekayasa dari mereka yang
menguasai sumber-sumber daya agar kemauannya terhadap orang lain diikuti.
Karena kendali mereka terhadap berbagai sumber daya itu, mereka yang berada
pada suatu posisi dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan orang lain
dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka
berkuasa. Singkatnya, yang ada hanyalah faktor-faktor kepentingan dari mereka
yang berada pada posisi dominan dan bukan nilai-nilai yang dianut bersama oleh
semua anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola saling ketergantungan yang
ada. Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau mekanisme penyadaran
bagi kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Maluku agar dapat
bersatu, hidup berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx, pela gandong
merupakan konsep atau mekanisme penciptaan ketergantungan dari orang-orang yang
berada pada sudut subordinat kepada kelas yang berkuasa. Pada segi ini, sangat
jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa (pemerintah pusat atau daerah)
dengan sengaja menciptakan atau paling kurang memfasilitasi terbentuknya
mekanisme pela gandong ini. Selanjutnya Marx menganggap bahwa pela gandong
sesungguhnya merupakan suatu mekanisme rekayasa dari mereka yang menguasai
sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan kelompok Islam), agar
kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak dibantah. Karena kelompok Islam
dianggap memegang kendali terhadap berbagai sumber daya itu, maka berdasarkan
pandangan Marx—yang serba pesimistik—ini, kelompok Kristen dipastikan
memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.
Analisis Marx
mengenai alienasi juga mengungkapkan posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep
ini menunjuk pada perasaan dan keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak
adanya kontrol dari seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx
menyatakan ada empat tipe alienasi : alienasi dari proses produksi, dari produk
yang dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya
sendiri. Marx menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari
majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa
menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya. Meskipun
argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks kehidupan pabrik pada
abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu melampaui tingkatan
empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta premis-premis
filosofisnya yang berhubungan dengan kodrat manusia dan kebutuhan manusia yang
mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan sekarang ini antara Marxis dan
non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang mendasari serta
asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan
secara empiris. Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang data empiris
yang saling bertentangan.
b. Menurut teori konflik James Scott yaitu adalah dengan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif terhadap masyarakat. Dalam hasil penelitiannya dan sebuah karya
master piece-nya "The Moral Economy of the Peasant", digambarkan
bahwa kehidupan petani (peasant) adalah masyarakat yang harmoni dan stabil.
Komunitas petani ini adalah suatu kelompok sosial yang memiliki kepentingan
untuk menjaga kelangsungan keterikatan antar individunya. Mereka ini adalah
masyarakat yang ” mendahulukan selamat ”.
Kesimpulan
: sesungguhnya
konflik yang terjadi di Ambon adalah berlatar kesenjangan ekonomi, antara kelas
yang dianggap dominan dan kelas yang termarjinalkan. Namun melalui
provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik agama antara
kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya adalah persaingan materia.
Keterangan :
1. A
= Change agent
2. B
= Waktu yang dibutuhkan chane agent untuk mempelajari konflik yang terjadi
3. C
= orang ketiga yang dekat dengan pemimpin masing-masing kubu
4. D
=pertemuan yang dilkukan oleh change agent, orang ketiga dan pemimpin
masing-masing untuk meluruskan permaalahan dan mencari akar permasalahan dan
mencari solusi atas permasalahan tersebut
5. E
= kubu A
6. F
= konfilk yang terjadi
7. G
=kubu B
1. Dengan
cara dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari
anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial juga dengan cara integrasi bahwa masyarakat terintegtrasi, karena
adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok akan memberikan
pengaruh yang baik kepada masing-masing pihak atau pemimpin dan mengarahkann
agar tidak timbul perselisihan atau konflik serta memberikan berupa
nasihat-nasihat seperti kita hidup
saling membutuhkan dan konflik yng terjadi itu akan memecahkan rasa bela negara
yaitu persatuan dan kesatuan. Dengan cara integrasi di harapkan agar masyarakat tidak bubar meskipun
menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang
terjadi secara sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar