Powered By Blogger

Kamis, 09 Februari 2012

DASAR DASAR PENDIDIKAN ANALISIS KASUS


Kasus
Kerusuhan AMBON.
·         Peristiwa Kerusuhan Tanggal 19-23 Januari
Kerusuhan dicetus (trigering factor) ditiga wilayah sekaligus : Simpang Tiga antara Batu Merah-Amantelu dan Galunggung, Jalan depan Gereja Silo dandaerah Rajali.
Peristiwa perkelahian antara seorang sopir dan preman di Simpang Tiga antara Batu Merah, Amantelu dan Galunggung justru adalah sebuah peristiwa yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang secara sangat cepat berubah menjadi pertikaian antar kelompok agama. Pada saat yang sama ditempat yang berbeda-beda, ternyata konsentrasi massa terjadi pula dengan isu pertikaian agama, dan dugaan akan terjadinya penyerangan oleh kelompok lain, seperti dikalangan Kristen beredar isu bahwa ada sebuah gereja dibakar, sementara dikalangan Islam juga telah beredar bahwa masjid Al-Fatah juga telah dibakar. Padahal, pada saat itu apa yang diberitakan tersebut tidak terjadi kebakaran pada obyek yang disebutkan.         
Kerusuhan tanggal 19 Januari terjadi begitu cepat dan menyebar dalam konsentrasi massa dalam jumlah yang cukup besar di beberapa tempat antara pukul 15.30-16.45 WITA.
Konsentrasi massa dalam jumlah besar berada di Silo dengan lima sampai enam ribu orang, akibat isu akan memperoleh serangan dan telah terhadi pembakaran gereja, sehingga harus merespon dan mempertahankan diri. Dalam jumlah yang cukup besar terjadi pula di daerah Mahardika, Rijali, Waringin, Kudamati, AR .Sarobar, Way Haung dan beberapa tempat lain. Massa juga berkonsentrasi untuk mengajukan konvirmasi isu penyerangantempat beribadah tersebut. Konsentrasi itu, berubah secara mendadak menjadi kerusuhan, berupa perusakan dan penyerangan antar kelompok terjadi dengan lokasi di berbagai tempat di hampir seluruh kota Ambon. Perusakan atau pembakaran mengarah pada tempat-tempat ibadah baik masjid maupun gereja, rumah-rumah penduduk dan pertokoan serta pasar.
Tanggal 20 Januari, berkembang isu masjid AL-Fatah terbakar. Hal itu berakibat reaksi massa dari Hila secara serentak berjalan menuju kota Ambon dan terseret ke dalam kerusuhan dan penyerangan. Beberapa laporan menunjukan adanya kelompok asing mempengaruhi akselerasi massa dengan bantuan alat komunikasi berupa HT dan handphone serta membawa senjata api. Aparat melakukan reaksi yang sama terjadi sebagaimana pada sebelumnya.
Perusakan dilakukan secara bergelombang oleh kelompok-kelompok massa dengan para pemimpinnya yang mengorganisasi gerak massa maupun memprovokasinya dengan memanfaatkan sentimen agama dan suku. Yang aneh dalam provokasi tersebut terdapat kata-kata dan istilah yang tidak lazim digunakan di Ambon.
Setalah kerusuhan reda, aparat keamanan melalui Kapolri segera mengumumkan bahwa situasi aman dan terkendali. Pada saat yang sama warga Ambon yang ketakutan masih berusaha mengungsi ketempat-tempat yang dianggap aman.
Kerusakan total hampir terjadi di setiap sudut kota Ambon. Namun dari sinipun terlihat beberapa hal yang janggal : yakni, rupanya pada saat kerusuhan terjadi telah dilakukan pemilihan sasaran perusakan maupun pembakaran. Hal ini terbukti dari adanya beberapa bangunan seperti Swalayan Matahari yang utuh tak tersentuh perusuh, sementara hampirseluruh bangunan disekelilingnya rusak total. Hal sejenis terjadi di pertokoan-pertokoan tertentu lainnya. tanpa mampu melakukan koreksi yang efektif dan upaya peredaman serta pemecahan akar masalah.



Soal
1.      Bagaimana memposisikan diri ditengah masyarakat  yang sedang berkonflik seperti konflik di Ambon?

2.      Bagaimana  caranya mendekati 2 kubu prokontra (pemimpin) yang sedang berkonflik?

3.      Jelaskan satu cara untuk menyelesaikan konflik tersebut?

4.      Apa yang harus dilakukan untuk mendinamisasikan (menjaga) agar kubu yang berkonflik mau bersama-sama hidup berdampingan? 

JAWABAN
  1. Jika ada konflik didekat maka saya harus ada bersama-sama dengan konflik tersebut. Karena rasa ingin tahu, pada saat terjadi konflik apa yang menyebabkan konflik tersebut terjadi/ jangan keluarnya bagaimana? Tapi tetap ada jarak. Mencari tahu dulu apa permasalahannya tetapi tidak langsung terlibat. Rasa ingin tahu, jarak dibuat agar lebih obyektif terhadap konflik, dan bisa memberikan langkah-langkah mengatasi konflik. Dekat karena tidak suka kalau terjadi konflik, maka perlu didatangi dan diselesaikan. Kalau memang ini konflik perlu dihadapi ya harus dihadapi. (menghadapikenyataan) dan sebagai bagian dari masyarakat kita harus bisa memposisikan sebagia penengah anatara dua belah pihak dan sebagai agen perubahan agar konflik mereda dan mau hidup berdampingan.
  2. Dengan cara yaitu orang ketiga yaitu orang yang dekat dengan para pemimpinnya yang mengorganisasi gerak massa masing-masing tersebut. Kemudian dipertemukan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
  3. Sebagai  change agent perlu membutuhkan waktu untuk mempelajari konflik yang sedang terjadi dan mengenal dan menganalisis kehadiran konflik yang terjadi , sebab, dan bentuknya, dan dalam banyak hal, akibatnya dalam perubahan sosial. Dengan demikian, konflik perlu dikelola. Konflik yang tidak dikelola dapat menimbulkan perubahan sosial yang tidak diharapkan, sementara konflik yang dikelola dapat mengarahkan perubahan sosial ke arah yang diharapkan. Selain menganalisis kehadiran konflik change agen  harus bisa menganalisis sebab-sebab munculnya konflik seperti pertanyan-pertanyaan : situasi apa yang melatari suatu konflik? Bagaimana situasi  tersebut  terbentuk di dalam masyarakat? Isu apa saja atau pokok persoalan apa yang menjadi pertikaian?, Sikap dan persepsi apa yang  dimiliki pihak-pihak yang berkonflik sehubungan dengan sehubungan dengan lawan? Bagaimana sikap dan persepsi itu terbentuk dan bertahan?, Perilaku konflik apa saja yang ditunjukkan oleh pihak-pihak yang bertikai? Lalu, strategi, taktik, atau alat apa yang digunakan dalam perilaku konflik? Dengan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai konflik. Pemahaman konflk itidak hanya menekankan pada satukomponen saja khususnya komponen perilaku sehingga komponen lain kurang memperoleh perhatian semestinya.Karena itu, beberapa pertanyaan semacam dapat diajukan untuk keperluan analisis konflik,. Selain itu sebagai change agen juga  harus bisa memikirkan  konflik antarkelompok, yakni bagaimana mengubah konflik, pertikaian, atau perselisihan menjadi sebuah bentuk kerja sama konflik antarkelompok itu akan berubah menjadi  kerja sama  antar kelompok apabila kepada mereka diintroduksikan superordinate goals secara meyakinkan bahwa hal-hal yang membuat mereka saling bermusuhan itu, ada hal yang jauh lebih penting untuk dihadapi bersama.
 Setelah mempelajari maka membutuhkan orang ketiga atau orang yang dekat dengan para pemimpinnya yang mengorganisasi gerak massa masing-masing tersebut. Setelah  itu dipertemukan kedua pimpinan tersebut. Pada  saat bertemu kedua pimpinan, kita dan orang yang dekat dengan pimpinan masing-masing meluruskan permasalahan dan mencari akar permasalahan  dan  mencari solusi atas permasalahan  kemudian dengan pertanyaan seperti apa sumber konflik?, Siapa pihak-pihak yang terlibat?, Apa pokok  issue konflik?, Apa yang berubah dalam konflik seiring dengan waktu?, Bagaimana konflik meluas sehingga melibatkan lebih banyak pihak,  wilayah, dan issue konflik?, Apa hasil dan akibat yang ditimbulkan konflik? dan  yang harus  dilakukan adalah dengan pertemuan secara  simbolik yang menghasilkan kesepakatan perdamaian antara para pemuka masyarakat, para pemimipin agama , dan aparat  keamanan. Penandatanagan kesepakatan dan ditanda tangani oleh para pemimpinnya yang mengorganisasi gerak massa masing-masing dan disaksikan oleh saksi yang bertanggung jawab.

a.       Menurut  teori konflik Karl. Marx yaitu Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori terpenting pada saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur sosial dibandingkan di tingkat individual, antarpribadi atau budaya. Sehingga konflik yang terjadi antar agama, ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara mereka, melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka dalam masing-masing kelompok agama mereka.
Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama—dan yang paling kontroversial—yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.
Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para pelakunya.
Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.
Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan norma ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari kelompok dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan lembaga media massa), dimana kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok dominan dibentuk. Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—untuk memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal yang ditentukan atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu” dan “kesadaran sesungguhnya”. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik Marx , sangat jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara nyata terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan pengklaiman golongan yang satu terhadap golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi (dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32 tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner” berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan revolusioner terbuka tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu. Demikian juga, orang-orang dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan posisi kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan kepentingan mereka yang sesungguhnya sebagai manusia.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan ekonomi antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah runcingnya perbedaan yang ada.
Saling ketergantungan antara tindakan individu dan kelompok yang bersifat harmonis, merupakan hasil dari orientasi-orientasi nilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Teori konflik Marx juga menerima kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu dalam kehidupan sosial, namun secara umum Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut, sesungguhnya merupakan rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya agar kemauannya terhadap orang lain diikuti. Karena kendali mereka terhadap berbagai sumber daya itu, mereka yang berada pada suatu posisi dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan orang lain dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa. Singkatnya, yang ada hanyalah faktor-faktor kepentingan dari mereka yang berada pada posisi dominan dan bukan nilai-nilai yang dianut bersama oleh semua anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola saling ketergantungan yang ada. Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau mekanisme penyadaran bagi kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Maluku agar dapat bersatu, hidup berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx, pela gandong merupakan konsep atau mekanisme penciptaan ketergantungan dari orang-orang yang berada pada sudut subordinat kepada kelas yang berkuasa. Pada segi ini, sangat jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa (pemerintah pusat atau daerah) dengan sengaja menciptakan atau paling kurang memfasilitasi terbentuknya mekanisme pela gandong ini. Selanjutnya Marx menganggap bahwa pela gandong sesungguhnya merupakan suatu mekanisme rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan kelompok Islam), agar kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak dibantah. Karena kelompok Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai sumber daya itu, maka berdasarkan pandangan Marx—yang serba pesimistik—ini, kelompok Kristen dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.
Analisis Marx mengenai alienasi juga mengungkapkan posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini menunjuk pada perasaan dan keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe alienasi : alienasi dari proses produksi, dari produk yang dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya sendiri. Marx menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya. Meskipun argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks kehidupan pabrik pada abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu melampaui tingkatan empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta premis-premis filosofisnya yang berhubungan dengan kodrat manusia dan kebutuhan manusia yang mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan sekarang ini antara Marxis dan non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang mendasari serta asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan secara empiris. Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang data empiris yang saling bertentangan.
 

b.      Menurut  teori konflik James Scott  yaitu adalah dengan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif terhadap masyarakat. Dalam hasil penelitiannya dan sebuah karya master piece-nya "The Moral Economy of the Peasant", digambarkan bahwa kehidupan petani (peasant) adalah masyarakat yang harmoni dan stabil. Komunitas petani ini adalah suatu kelompok sosial yang memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan keterikatan antar individunya. Mereka ini adalah masyarakat yang ” mendahulukan selamat ”.


Kesimpulan :  sesungguhnya  konflik yang terjadi di Ambon adalah  berlatar kesenjangan ekonomi, antara kelas yang dianggap dominan dan kelas yang termarjinalkan. Namun melalui provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik agama antara kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya adalah persaingan materia.



 



Keterangan :

1.       A = Change agent
2.       B = Waktu yang dibutuhkan chane agent untuk mempelajari konflik yang terjadi
3.       C = orang ketiga yang dekat dengan pemimpin masing-masing kubu
4.       D =pertemuan yang dilkukan oleh change agent, orang ketiga dan pemimpin masing-masing untuk meluruskan permaalahan dan mencari akar permasalahan dan mencari solusi atas permasalahan tersebut
5.       E = kubu A
6.       F = konfilk yang terjadi
7.       G =kubu B

1.      Dengan cara dinetralkan oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari anggota masyarakat terhadap berbagai kesatuan sosial juga dengan cara  integrasi bahwa masyarakat terintegtrasi, karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok akan memberikan pengaruh yang baik kepada masing-masing pihak atau pemimpin dan mengarahkann agar tidak timbul perselisihan atau konflik serta memberikan berupa nasihat-nasihat  seperti kita hidup saling membutuhkan dan konflik yng terjadi itu akan memecahkan rasa bela negara yaitu persatuan dan kesatuan. Dengan cara integrasi di harapkan  agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar