KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
Oleh:
Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie, SH[1].
WARGANEGARA DAN KEWARGANEGARAAN
Salah
satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warganegara
yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang
bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai
kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua
prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’.
Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri
pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran, sedangkan ‘ius sanguinis’
mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah.
Berdasarkan prinsip ‘ius soli’,
seseorang yang dilahirkan di dalam wilayah hukum suatu negara, secara hukum
dianggap memiliki status kewarganegaraan dari negara tempat kelahirannya itu.
Negara Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropah termasuk menganut
prinsip kewarganegaraan berdasarkan kelahiran ini, sehingga siapa saja yang
dilahirkan di negara-negara tersebut, secara otomatis diakui sebagai warga
negara. Oleh karena itu, sering terjadi warganegara Indonesia yang sedang
bermukim di negara-negara di luar negeri, misalnya karena sedang mengikuti
pendidikan dan sebagainya, melahirkan anak, maka status anaknya diakui oleh
Pemerintah Amerika Serikat sebagai warga negara Amerika Serikat. Padahal kedua
orangtuanya berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini,
kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar
negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja
melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan
pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit
di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.
Dalam hal, negara tempat asal sesorang dengan negara tempat ia melahirkan atau
dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan
menimbulkan persoalan. Akan tetapi, apabila kedua negara yang bersangkutan
memiliki sistem yang berbeda, maka dapat terjadi keadaan yang menyebabkan
seseorang menyandang status dwi-kewarganegaraan (double citizenship) atau
sebaliknya malah menjadi tidak berkewarganegaraan sama sekali (stateless).
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di
beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri
pada faktor pertalian seseorang dengan status orangtua yang berhubungan darah
dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis
kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya
itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin
terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk
yang berbeda status kewarganegaraannya. Sering terjadi perkawinan campuran yang
melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan
isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh
masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara
suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu
menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri
mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa
status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses
naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan
seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah
hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’
sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung
mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata
menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya. Cara kedua untuk memperoleh
status kewarganegaraan itu ditentukan melalui proses pewarganegaraan (naturalisasi).
Melalui proses pewarganegaraan itu, seseorang dapat mengajukan permohonan
kepada instansi yang berwenang, dan kemudian pejabat yang bersangkutan dapat
mengabulkan permohonan tersebut dan selanjutnya menetapkan status yang
bersangkutan menjadi warganegara yang sah.
Selain kedua cara tersebut, dalam berbagai
literature mengenai kewarganegaraan, juga dikenal adanya cara ketiga, yaitu
melalui registrasi. Cara ketiga ini dapat disebut tersendiri, karena dalam
pengalaman seperti yang terjadi di Perancis yang pernah menjadi bangsa penjajah
di berbagai penjuru dunia, banyak warganya yang bermukim di daerah-daerah
koloni dan melahirkan anak dengan status kewarganegaraan yang cukup ditentukan
dengan cara registrasi saja. Dari segi tempat kelahiran, anak-anak mereka itu
jelas lahir di luar wilayah hukum negara mereka secara resmi. Akan tetapi,
karena Perancis, misalnya, menganut prinsip ‘ius soli’, maka menurut
ketentuan yang normal, status kewarganegaraan anak-anak warga Perancis di
daerah jajahan ataupun daerah pendudukan tersebut tidak sepenuhnya dapat
langsung begitu saja diperlakukan sebagai warga negara Perancis. Akan tetapi,
untuk menentukan status kewarganegaraan mereka itu melalui proses naturalisasi
atau pewarganegaraan juga tidak dapat diterima. Karena itu, status
kewarganegaraan mereka ditentukan melalui proses registrasi biasa. Misalnya,
keluarga Indonesia yang berada di Amerika Serikat yang menganut prinsi ‘ius
soli’, melahirkan anak, maka menurut hukum Amerika Serikat anak tersebut
memperoleh status sebagai warga negara AS. Akan tetapi, jika orangtuanya
menghendaki anaknya tetap berkewarganegaraan Indonesia, maka prosesnya cukup
melalui registrasi saja.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses
kewarganegaraan itu dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu: (i)
kewarganegaraan karena kelahiran atau ‘citizenship by birth’, (ii)
kewarganegaraan melalui pewarganegaraan atau ‘citizenship by naturalization’,
dan (iii) kewarganegaraan melalui registrasi biasa atau ‘citizenship by
registration’. Ketiga cara ini seyogyanya dapat sama-sama dipertimbangkan
dalam rangka pengaturan mengenai kewarganegaraan ini dalam sistem hukum Indonesia,
sehingga kita tidak membatasi pengertian mengenai cara memperoleh status
kewarganegaraan itu hanya dengan cara pertama dan kedua saja sebagaimana lazim
dipahami selama ini.
Kasus-kasus kewarganegaraan di Indonesia
juga banyak yang tidak sepenuhnya dapat diselesaikan melalui cara pertama dan
kedua saja. Sebagai contoh, banyak warganegara Indonesia
yang karena sesuatu, bermukim di Belanda, di Republik Rakyat Cina, ataupun di Australia dan negara-negara lainnya dalam waktu
yang lama sampai melahirkan keturunan, tetapi tetap mempertahankan status
kewarganegaraan Republik Indonesia.
Keturunan mereka ini dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia dengan cara registrasi
biasa yang prosesnya tentu jauh lebih sederhana daripada proses naturalisasi.
Dapat pula terjadi, apabila yang bersangkutan, karena sesuatu sebab, kehilangan
kewarganegaraan Indonesia,
baik karena kelalaian ataupun sebab-sebab lain, lalu kemudian berkeinginan
untuk kembali mendapatkan kewarganegaraan Indonesia,
maka prosesnya seyogyanya tidak disamakan dengan seorang warganegara asing yang
ingin memperoleh status kewarganegaraan Indonesia.
Lagi pula sebab-sebab hilangnya status
kewarganegaraan itu bisa saja terjadi karena kelalaian, karena alasan politik,
karena alasan teknis yang tidak prinsipil, ataupun karena alasan bahwa yang
bersangkutan memang secara sadar ingin melepaskan status kewarganegaraannya
sebagai warganegara Indonesia.
Sebab atau alasan hilangnya kewarganegaraan itu hendaknya dijadikan
pertimbangan yang penting, apabila yang bersangkutan ingin kembali mendapatkan
status kewarganegaraan Indonesia.
Proses yang harus dilakukan untuk masing-masing alasan tersebut sudah
semestinya berbeda-beda satu sama lain. Yang pokok adalah bahwa setiap orang
haruslah terjamin haknya untuk mendapatkan status kewarganegaraan, sehingga
terhindar dari kemungkinan menjadi ‘stateless’ atau tidak
berkewarganegaraan. Tetapi pada saat yang bersamaan, setiap negara tidak boleh
membiarkan seseorang memilki dua status kewarganegaraan sekaligus. Itulah
sebabnya diperlukan perjanjian kewarganegaraan antara negara-negara modern
untuk menghindari status dwi-kewarganegaraan tersebut. Oleh karena itu, di
samping pengaturan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan melalui proses
pewarganegaraan (naturalisasi) tersebut, juga diperlukan mekanisme lain
yang lebih sederhana, yaitu melalui registrasi biasa.
Di samping itu, dalam proses perjanjian antar
negara, perlu diharmonisasikan adanya prinsip-prinsip yang secara diametral
bertentangan, yaitu prinsip ‘ius soli’ dan prinsip ‘ius sanguinis’
sebagaimana diuraikan di atas. Kita memang tidak dapat memaksakan pemberlakuan
satu prinsip kepada suatu negara yang menganut prinsip yang berbeda. Akan
tetapi, terdapat kecenderungan internasional untuk mengatur agar terjadi
harmonisasi dalam pengaturan perbedaan itu, sehingga di satu pihak dapat
dihindari terjadinya dwi-kewarganegaraan, tetapi di pihak lain tidak akan ada
orang yang berstatus ‘stateless’ tanpa kehendak sadarnya sendiri. Karena
itu, sebagai jalan tengah terhadap kemungkinan perbedaan tersebut, banyak
negara yang berusaha menerapkan sistem campuran dengan tetap berpatokan utama
pada prinsip dasar yang dianut dalam sistem hukum masing-masing.
Indonesia sebagai negara yang
pada dasarnya menganut prinsip ‘ius sanguinis’, mengatur kemungkinan
warganya untuk mendapatkan status kewarganegaraan melalui prinsip kelahiran.
Sebagai contoh banyak warga keturunan Cina yang masih berkewarganegaraan Cina
ataupun yang memiliki dwi-kewarganegaraan antara Indonesia
dan Cina, tetapi bermukim di Indonesia
dan memiliki keturunan di Indonesia.
Terhadap anak-anak mereka ini sepanjang yang bersangkutan tidak berusaha untuk
mendapatkan status kewarganegaraan dari negara asal orangtuanya, dapat saja
diterima sebagai warganegara Indonesia
karena kelahiran. Kalaupun hal ini dianggap tidak sesuai dengan prinsip dasar
yang dianut, sekurang-kurangnya terhadap mereka itu dapat dikenakan ketentuan
mengenai kewarganegaraan melalui proses registrasi biasa, bukan melalui proses
naturalisasi yang mempersamakan kedudukan mereka sebagai orang asing sama
sekali.
KEWARGANEGARAAN ORANG ‘CINA’ PERANAKAN
Orang-orang ‘Cina’ peranakan yang tinggal
menetap turun temurun di Indonesia, sejak masa reformasi sekarang ini, telah
berhasil memperjuangkan agar tidak lagi disebut sebagai orang ‘Cina’, melainkan
disebut sebagai orang Tionghoa. Di samping itu, karena alasan hak asasi manusia
dan sikap non-diskriminasi, sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui
Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah
Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan
untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan
penduduk keturunan ‘Cina’ dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun
ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman
etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Manado, Cina, dan lain sebagainya.
Karena itu, status hukum dan status
sosiologis golongan keturunan ‘Tionghoa’ di tengah masyarakat Indonesia sudah
tidak perlu lagi dipersoalkan. Akan tetapi, saya sendiri tidak begitu ‘sreg’
dengan sebutan ‘Tionghoa’ itu untuk dinisbatkan kepada kelompok masyarakat Indonesia
keturunan ‘Cina’. Secara psikologis, bagi kebanyakan masyarakat Indonesia,
istilah ‘Tionghoa’ itu malah lebih ‘distingtif’ atau lebih memperlebar
jarak antara masyarakat keturunan ‘Cina’ dengan masyarakat Indonesia pada
umumnya. Apalagi, pengertian dasar istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri terdengar
lebih tinggi posisi dasarnya atau bahkan terlalu tinggi posisinya dalam
berhadapan dengan kelompok masyarakat di luar keturunan ‘Cina’. ‘Tiongkok’ atau
‘Tionghoa’ itu sendiri mempunyai arti sebagai negara pusat yang di dalamnya
terkandung pengertian memperlakukan negara-negara di luarnya sebagai negara
pinggiran. Karena itu, penggantian istilah ‘Cina’ yang dianggap cenderung
‘merendahkan’ dengan perkataan ‘Tionghoa’ yang bernuansa kebanggaan bagi orang
‘Cina’ justru akan berdampak buruk, karena dapat menimbulkan dampak psikologi
bandul jam yang bergerak ekstrim dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang
lain. Di pihak lain, penggunaan istilah ‘Tionghoa’ itu sendiri juga dapat
direspons sebagai ‘kejumawaan’ dan mencerminkan arogansi cultural atau ‘superiority
complex’ dari kalangan masyarakat ‘Cina’ peranakan di mata masyarakat Indonesia pada
umumnya. Anggapan mengenai adanya ‘superiority complex’ penduduk
keturunan ‘Cina’ dipersubur pula oleh kenyataan masih diterapkannya sistem
penggajian yang ‘double standard’ di kalangan perusahaan-perusahaan
keturunan ‘Cina’ yang mempekerjakan mereka yang bukan berasal dari etnis
‘Cina’. Karena itu, penggunaan kata ‘Tionghoa’ dapat pula memperkuat
kecenderungan ekslusivisme yang menghambat upaya pembauran tersebut.
Oleh karena itu, mestinya, reformasi
perlakuan terhadap masyarakat keturunan ‘Cina’ dan warga keturunan lainnya
tidak perlu diwujudkan dalam bentuk penggantian istilah semacam itu. Yang lebih
penting untuk dikembangkan adalah pemberlakuan sistem hukum yang bersifat non-diskriminatif
berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, diiringi dengan upaya penegakan
hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu, dan didukung pula oleh ketulusan semua
pihak untuk secara sungguh-sungguh memperdekat jarak atau gap social, ekonomi dan
politik yang terbuka lebar selama ini. Bahkan, jika mungkin, warga keturunanpun
tidak perlu lagi menyebut dirinya dengan etnisitas yang tersendiri. Misalnya,
siapa saja warga keturunan yang lahir di Bandung, cukup menyebut dirinya
sebagai orang Bandung saja, atau lebih ideal lagi jika mereka dapat
mengidentifikasikan diri sebagai orang Sunda, yang lahir di Madura sebut saja
sebagai orang Madura. Orang-orang keturunan Arab yang lahir dan hidup di
Pekalongan juga banyak yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Pekalongan
saja, bukan Arab Pekalongan.
Proses pembauran itu secara alamiah akan
terjadi dengan sendirinya apabila medan
pergaulan antar etnis makin luas dan terbuka. Wahana pergaulan itu perlu
dikembangkan dengan cara asimiliasi, misalnya, melalui medium lembaga
pendidikan, medium pemukiman, medium perkantoran, dan medium pergaulan social
pada umumnya. Karena itu, di lingkungan-lingkungan pendidikan dan perkantoran
tersebut jangan sampai hanya diisi oleh kalangan etnis yang sejenis. Lembaga
lain yang juga efektif untuk menyelesaikan agenda pembauran alamiah ini adalah
keluarga. Karena itu, perlu dikembangkan anjuran-anjuran dan dorongan-dorongan
bagi berkembangnya praktek perkawinan campuran antar etnis, terutama yang
melibatkan pihak etnis keturunan ‘Cina’ dengan etnis lainnya. Jika seandainya
semua orang melakukan perkawinan bersilang etnis, maka dapat dipastikan bahwa
setelah satu generasi atau setelah setengah abad, isu etnis ini dan apalagi isu
rasial, akan hilang dengan sendirinya dari wacana kehidupan kita di persada
nusantara ini.
PEMBARUAN UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN
Dalam rangka pembaruan Undang-Undang
Kewarganegaraan, berbagai ketentuan yang bersifat diskriminatif sudah
selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah
tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai orang asing. Dalam kaitan ini, kita
tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk asli ataupun bangsa Indonesia asli
seperti yang masih tercantum dalam penjelasan UUD 1945 tentang kewarganegaraan.
Dalam hukum Indonesia di masa datang, termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945
dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih
akan dipergunakan, cukup dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat
membedakan antara warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan
sebagai warganegara (natural born citizen), dan orang yang dilahirkan
bukan sebagai warganegara Indonesia.
Orang yang dilahirkan dalam status sebagai
warganegara Republik Indonesia
itu di kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi,
jika yang bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan
dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang
dilahirkan sebagai warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari
menjadi warganegara Indonesia,
tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’.
Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1)
tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami
dalam konteks pengertian ‘Warga Negara Indonesia’ asli tersebut,
sehingga elemen diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan
sendirinya. Artinya, orang yang pernah menyandang status sebagai warganegara
asing sudah sepantasnya dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD
1945 dan pembaruan UU tentang Kewarganegaraan konsep hukum mengenai
kewarganegaraan asli dan konsep tentang tata cara memperoleh status
kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme registrasi seperti tersebut di
atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok. Dengan begitu
asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan etnisitas
sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa yang akan
datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di era
reformasi dewasa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar