Powered By Blogger

Kamis, 09 Februari 2012

FILSAFAT ILMU HAK ASASI MANUSIA


HAK ASASI MANUSIA

HAM (Hak Asasi Manusia) dalam Penjara

Semua orang juga tahu kalau yang tinggal di dalam penjara adalah seorang pesakitan yang karena melakukan satu kejahatan akhirnya tertangkap dan untuk sementara di karantina sehingga tak membahayakan hidup orang lain. Tapi, sejahat apapun mereka tetaplah mereka manusia yang punya perasaan, punya hati dan tak boleh seenaknya saja diperlakukan seperti binatang.

Hanya saja di Indonesia ini, yang namanya pelanggaran HAM dalam penjara tetap saja terjadi. Tak hanya dilakukan oleh para sipir tahanan, antar sesama penghuni sel pun pelanggaran HAM itu bisa terjadi. Seperti yang baru-baru ini beredar video pelecehan seksual oleh beberapa sipir penjara terhadap salah satu tahanannya di daerah Riau. Kenapa hal-hal seperti itu harus terjadi? Ada unsur kenikmatan apa menyiksa mereka dengan pelecehan seksual seperti itu? Perlakuan seperti itu menurut saya tidak beradab, tidak sesuai dengan Pancasila. Apalagi ini dilakukan oleh sipir penjara yang notabene adalah anggota penegak hukum. Apa manfaat dari perlakuan seperti itu?

Orang tahanan itu adalah pesakitan yang butuh pencerahan untuk memperbaiki kualitas hidup mereka, janganlah ditambah lagi dengan perlakuan yang tak wajar seperti itu, yang ada bukannya perubahan kearah kebaikan setelah melalui masa tahanan, tapi mendatangkan penyakit kejiwaan baru bagi mereka yang mengalaminya.

Ironis sekali bangsa Indonesia ini. Kualitas aparat keamanannya masih belum bisa menjunjung HAM. Sebenarnya mereka itu tahu nggak sih bahwa penyiksaan-penyiksaan seperti itu tidak layak dilakukan apalagi dipertontonkan di depan tahanan yang lain? Hal ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia saja rupanya, di luar negeripun pelanggaran HAM dalam penjara juga bisa terjadi.

Seperti yang digambarkan dalam film Sleepers yang menceritakan pelecehan seksual yang dialami oleh beberapa anak remaja dalam tahanan anak-anak. Pelecehan itu dilakukan oleh sipir tahanan. Perbuatan itu meninggalkan luka batin bagi mereka. Menanamkan dendam sehingga keinginan balas dendam pada sipir penjara yang pernah melecehkan mereka begitu besar.

Pelanggaran HAM ini tak hanya terjadi di lingkungan penjara laki-laki, pada penjara khusus wanitapun bisa terjadi. Dimana rasa kemanusiaan orang-orang ini? Mengapa bisa tega melakukannya? Kenapa orang-orang tahanan itu nggak bisa melakukan hal positif lainnya selain saling melecehkan, saling menunjukkan ke-senior-an. Aneh ya…dalam penjarapun mereka memiliki rasa bangga bagi yang sudah lama menghuni sel, merasa senior dan bila ada orang baru yang masuk, orang baru itu akan diperlakukan semena-mena istilahnya diplonco sampai babak belur dan menurut saya itu konyol. Ternyata sifat senioritas itu bisa terjadi dimana-mana, tak hanya dalam lingkungan pendidikan, lingkungan kerja sampai kelas penjahat pun memiliki sifat itu.

Menurut saya bila ada aparat keamanan terutama sipir penjara yang melakukan pelanggaran HAM itu wajib diberikan sanksi, sekalipun mereka berdalih untuk memberi pelajaran tapi, tindakan pelecehan seksual itu tidak dibenarkan dan itu bukan untukmemberi pelajaran bagi tahanan tapi, memberikan kepuasan batin bagi sipir penjara itu sendiri. Sungguh perbuatan yang tak bisa dibenarkan. Kepala penjara harus benar-benar bertindak tegas dalam hal ini.

Perlakukanlah tahanan itu seperti manusia pada umumnya. Mereka itu sama seperti manusia yang lain hanya saja dalam hal ini mereka berbuat kejahatan yang merugikan orang lain dan dengan adanya lembaga tahanan ini kan sebagai tempat para penjahat ini bisa merenungi perbuatannya, membuat mereka merubah jalan hidupnya dan mudah-mudahan jika keluar dari penjara bisa menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Dan untuk perubahan itu selain dari diri para pelakunya, perlu adanya bantuan dari para petugas di penjara, bukannya malah meninggalkan trauma dan menjadikan mereka pesakitan jiwa. Semoga saja pelanggaran HAM dalam penjara ini bisa dihilangkan.

Lapas Kita, Jauh Panggang dari Api

DUNIA penjara atau di Indonesia biasa disebut dengan istilah lembaga pemasyarakatan (LP), kali ini seakan tengah menghadapi cobaan. Praktik pemberian fasilitas khusus terhadap ”orang khusus”, sedang digugat publik.

Di lapas-lapas tertentu, fenomena itu sebenarnya sudah berlangsung lama dan turun-temurun. Namun temuan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum atas fasilitas mewah terhadap terpidana Artalyta Suryani alias Ayin beberapa waktu lalu, seolah mengugah orang dari tidurnya bahwa telah terjadi ketidakberesan secara mendasar di lembaga ini. Sebelum berbicara jauh tentang ketidakberesan ini, mari kita menengok ke belakang tentang apa itu sejatinya LP.

LP atau lapas merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Lapas merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum HAM)—dahulu Departemen Kehakiman.

Penghuni lapas bisa narapidana atau napi, serta tahanan. Orang cenderung menyamakan tahanan sama dengan napi, padahal itu berbeda. Tahanan merupakan tersangka atau terdakwa tindak pidana, yang status hukumnya belum final, sehingga mereka ini juga disebut tahanan titipan, maksudnya titipan dari kepolisian (jika masih tersangka), titipan kejaksaan (jika sudah terdakwa), atau titipan pengadilan (jika perkaranya sudah diserahkan kejaksaan ke pengadilan). Adapun narapidana merupakan sebutan bagi pelaku pidana yang status hukumnya sudah final atau berkekuatan hukum tetap.

Ketentuan tentang lapas di Indonesia diatur dalam UU 12/ 1995 tentang Pemasyarakatan. Selain undang-undang, ada juga regulasi lain dari Depkum HAM berupa Peraturan Dirjen Pemasyarakatan dan Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan, menyangkut teknis penataan lapas. Ada juga peraturan berupa Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM, mengatur hal-hal seperti cuti bersama, dan sebagainya.

Untuk teknis penataan di lapas-lapas, sebagai contoh, sehubungan dengan sorotan publik atas permasalahan berkaitan perlakuan terhadap narapidana dan tahanan belakangan ini, Dirjenpas pun menerbitkan surat edaran, yakni SE Nomor Pas-PK-01.04.01-04 tanggal 13 Januari 2010 tentang penerbitan lapas, rutan, dan cabang rutan.

Salah satu isi dari SE tersebut, Dirjenpas menegaskan agar seluruh lapas mencegah timbulnya opini publik yang negatif, dan melarang adanya pemberian fasilitas pribadi kepada napi/tahanan yang menarik perhatian publik.

Banyak hal lain yang juga diatur dalam Peraturan Dirjenpas dan Surat Edaran Dirjenpas, seperti pelarangan napi membawa uang sendiri tapi harus dititipkan di register B, pelarangan pemakaian ponsel di kamar oleh masing-masing napi, pelarangan masuknya senjata tajam atau benda-benda yang dapat diubah menjadi senjata tajam seperti sendok logam (yang dibolehkan sendok plastik) dan sikat gigi (yang dibolehkan sikat gigi yang pegangannya sudah dipendekkan), dan sebagainya.

Gagasan Pertama
Di Tanah Air, konsep pemasyarakatan kali pertama digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962. Disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun jauh lebih berat yakni mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.
Dalam praktiknya, jauh sebelum ini, lapas kerap mendapat kritik atas perlakuan terhadap para narapidana. Pemberian fasilitas mewah terhadap orang semacam Ayin, merupakan satu hal yang boleh dibilang keterlaluan. Tapi sebenarnya banyak hal yang lebih berbahaya.

Cobalah perhatikan kenyataan berikut ini! Sebagian besar napi yang meninggal karena telah menderita sakit sebelum masuk penjara, dan ketika dalam penjara kondisi kesehatan mereka semakin parah karena kurangnya perawatan, rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam lingkungan penjara. Pada tahun 2006, hampir 10% di antaranya meninggal dalam lapas.

Banyak contoh menyangkut hal tersebut belakangan ini. Di Jawa Tengah misalnya, kisah napi atau tahanan yang depresi, melarikan diri, bunuh diri, tewas di dalam penjara karena sakit parah, sampai tahun lalu dan awal tahun 2010 ini masih sering kita baca di koran-koran dan tonton di televisi. Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jateng Chaeruddin Idrus membantah kematian itu disebabkan buruknya fasilitas kesehatan di lembaga pemasyarakatan. Namun kenyataannya hal semacam itu masih saja terjadi.

Lapas juga disorot menghadapi persoalan beredarnya obat-obatan terlarang di kalangan napi dan tahanan, serta kelebihan penghuni. Soal ini memang tidak terbantahkan. Di Nusakambangan, lapas yang paling terkenal di Indonesia, peredaran narkoba masih marak hingga saat ini. Barang haram itu dipasok oleh pembesuk dengan berbagai cara. Meski barangkali belum ada bukti bahwa peredaran itu tidak melibatkan sipir, harus diakui bahwa pengedar obat-obat terlarang itu selangkah lebih maju ketimbang petugas.
Standar Internasional

Manajemen penjara di Tanah Air hingga saat ini masih sangat jauh dari yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB antara lain menetapkan ruang sel harus dihuni sendiri. Selain itu, kamar mandi dan tempat buang hajat harus tersedia layak, pakaian harus bersih, serta makanan dan minuman harus sesuai dengan syarat-syarat kesehatan.

Kenyataannya, persyaratan tersebut masih jauh panggang dari api. Napi selain dijejal dalam satu sel, juga sulit mendapatkan air bersih. Handuk pun dipakai secara bergantian. Itulah sebabnya penyakit menular, seperti kudis, hepatitis, dan TBC, berkembang sangat cepat di penjara.

Manajemen lapas, meski tidak semuanya, ada juga yang tidak membedakan narapidana yang terinfeksi HIV/AIDS maupun yang sehat. Mereka yang mestinya masuk panti rehabilitasi ditempatkan pada satu sel yang sama dengan residivis dan napi yang sehat. Itulah sebabnya penularan penyakit berlangsung cepat di dalam LP.

Dari sisi keamanan, hampir semua penjara tidak dilengkapi CCTV (closed circuit television), sinar X, metal detector, dan jammer atau alat pemutus jaringan telepon seluler dengan dunia luar. Itu sebabnya berbagai obat dan barang berbahaya leluasa masuk ke dalam lingkungan penjara.

Dalam kondisi semacam ini, rasanya konsep pemasyarakatan yang digagas Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962 semakin jauh untuk diwujudkan. Menurut Sahardjo, tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman (sehingga seseorang) kehilangan kemerdekaan saja. Tugas yang jauh lebih berat, tetapi lebih murni adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana itu ke dalam masyarakat.

Tetapi konsep itu sudah jauh melenceng. Penjara saat ini hanya dipandang sebagai tempat penghukuman. Bahkan ada yang bilang, bagi narapidana LP Cipinang Jakarta, penjara itu kini jadi tempat untuk mengantarkan yang bersangkutan menuju maut. Departemen Hukum dan HAM menjadi tempat yang marak terjadinya pelanggaran HAM itu sendiri.
Problema
Kenapa hal itu bisa terjadi? Salah satu yang dikemukakan Menkum HAM Patrialis Akbar maupun para menteri sebelumnya, juga digembar-gemborkan oleh para kepala Kanwil Depkum HAM adalah terbatasnya anggaran negara dalam pengelolaan lapas-lapas.

Terbatasnya anggaran pula yang memunculkan lapas itu menjadi over kapasitas, kesejahteraan pegawai yang minim, dan sebagainya. Tingkat kesejahteraan pegawai dan sipir, jika dibandingkan dengan aparat penegak hukum lainnya juga jauh lebih rendah.

Sebagai contoh, anggaran kesehatan narapidana, menurut pengakuan salah seorang mantan kepala Kanwil Depkum HAM yang enggan disebut namanya, pada tahun 2007, per narapidana tiap triwulan rata-rata hanya dijatah Rp 5 (lima rupiah).

Untuk anggaran makan, menurut bekas narapidana di LP Kedungpane Semarang yang baru saja keluar beberapa waktu lalu, sehari jatah makan napi pada tahun 2010 ini turun dari Rp 10.000 menjadi Rp 8.000/napi/hari (untuk tiga kali makan). Angka itu masih dikurangi biaya gas sehingga per hari jatah makan itu hanya Rp 6.500.

Minimnya anggaran itu, selalu menjadi dasar atas problem-problem yang muncul di lapas. Termasuk menjadi alasan kenapa seorang sipir yang tadinya lugu, terpaksa berbuat nakal atau bekerja sama dengan napi melakukan tindakan yang menyalahi aturan.

Sebenarnya berapa anggaran untuk Departemen Hukum dan HAM? Berkaca dari data tahun 2008, anggaran APBN untuk departemen ini telah mencapai Rp 4,84 triliun. Itu lebih tinggi dari Kejaksaan Agung RI yang hanya Rp 2 triliun, namun lebih rendah dibandingkan Mahkamah Agung yang mencapai  Rp 6,45 triliun, dan lebih rendah dari Polri yang mencapai Rp 23,34 triliun. Tahun 2009 dan 2010, anggaran Depkum HAM dan lembaga penegak hukum lainnya tentu tidak jauh dari nilai itu.

Benarkah memang itu tidak cukup layak bagi Depkum HAM? Dari angka itu, seberapa besar anggaran untuk lapas di Indonesia? Seberapa besar pengaruhnya dalam relasi antara anggaran (yang dianggap minim tersebut) terhadap penyimpangan-penyimpangan di dalam lapas? Dan berapa seharusnya anggaran yang normal bagi lapas? Ataukah itu sebenarnya sudah normal namun dikorupsi?

Anggaran negara untuk lapas, memang merupakan fondasi atas bangunan kehidupan dan budaya di lapas. Sejauh ini tampaknya belum ada penelitian komprehensif yang terpublikasikan menyangkut itu semua. Yang ada baru pernyataan-pernyataan pejabat terkait dan fakta-fakta miring menyangkut seputar keganjilan-keganjilan di lapas yang muncul secara sporadis. Siapa tertarik mau menelitinya? (Yunantyo Adi S-62)

Ø  Kasus Rutan Pondok Bambu Ujian bagi Menkum dan HAM

KEGUNCANGAN politik pemenjaraan di Indonesia kini sedang terjadi. Artalyta Suryani alias Ayin, ternyata bisa menikmati fasilitas mewah di Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu Jakarta Timur. Penghakiman publik pun mulai mengarah agar terjadi perbaikan dalam sistem pemenjaraan yang selama ini dianggap tertutup menjadi terbuka.

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar akhirnya turun tangan lewat inspeksi mendadak (sidak) di beberapa rutan dan lembaga pemasyarakatan (LP). Langkahnya itu kemudian diikuti oleh personel Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum.

Satgas Antimafia Hukum, sebutan lain untuk satuan tugas itu, sudah memperoleh banyak informasi bahwa ada ”istana” di dalam penjara yang diduga mengarah pada permainan uang antara narapidana dan oknum petugas rutan dan LP. Maka, secara sekilas pembuktian akumulasi informasi itupun terjadi bahwa di balik ketertutupan tersimpan rahasia besar adanya fasilitas khusus bagi narapidana yang diistimewakan sebagaimana di Rutan Pondok Bambu.

Ada beberapa aspek realitas ketidakadilan di seputar ramainya pemberitaan media tentang dugaan kastanisasi narapidana oleh petugas rutan dan LP. Pertama, kasus ramainya pemberitaan Rutan Pondok Bambu yang telah dominan merebut perhatian publik, pada saat yang sama justru menunjukkan adanya sistem penganggaran dan kebijakan turun-temurun yang tidak memedulikan realitas buruknya keadaan fisik dan keadaan sosial penjara.
Tanpa disadari, keterbukaan akses dunia luar masuk ke dalam penjara pada akhirnya akan membenarkan bahwa keadaan over capacity dan minimnya anggaran untuk biaya hidup narapidana harus diperbaiki.

Kedua, kasus ramainya pemberitaan yang cenderung mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa fasilitas tertentu dapat dinikmati oleh sekelumit narapidana atau tahanan, akan mengarahkan pada perlunya rumusan standar bangunan yang layak secara kemanusiaan terhadap penghuninya. Realitas itu selalu sangat multidimensional karena lingkungan fisik yang buruk jelas akan memengaruhi tingkat kesehatan mental seseorang.

Artinya, jika fasilitas buruk yang selama ini bertahan di penjara dan dikontraskan adanya ruangan ”hotel”, tentu pihak LP atau rutan berupaya menghadirkan sisi-sisi lain untuk membantu narapidana atau tahanan keluar dari keadaan ketertekanan dan kehidupan yang lebih sehat. Dari sinilah delik prahara kepentingan bermain.

Kita saat ini melihat betapa banyak perbedaan antara idealita dan realita yang berlangsung dalam bangunan sistem pemenjaraan. Kasus tertembaknya sipir penjara yang disusul dengan kaburnya narapidana dari LP Sukamiskin, Bandung, Minggu, Desember 2009, mengagetkan banyak kalangan. Kenyataan ini pada akhirnya menjadi contoh bahwa hampir di semua LP dan rutan di Indonesia, tekanan lingkungan baik fisik maupun sosial menjadi hal yang sangat memengaruhi napi dan tahanan untuk kabur. Pada sisi lain sistem pengamanan tidak berjalan maksimal karena terkendala anggaran dan prosedur.

Hal ini sebagaimana studi Jencks dan Mayer, The Social Consequences of Growing Up in A Poor Neighborhood (1990) yang menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang erat antara kriminalitas dan lingkungan fisik yang buruk karena menyangkut penurunan tingkat kesehatan mental bahwa tidak ada kebermaknaan hidup yang dirasakan. Ketidakbermaknaan tersebut misalnya diungkapkan oleh Menkumham bahwa napi dan tahanan bagaikan ikan sepat yang dipaksa menghuni ruangan sempit, jangankan tidur, untuk berbaring juga susah.

Dalam kebeningan pikiran dan nurani, setiap manusia terlahirkan dalam keadaan yang suci. Keterbatasan berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik yang kiranya memiliki peran menjadikan adanya perubahan potensi menjadi buruk. Hal demikian menjadi salah satu ciri terpenting peradaban agama-agama dalam memberikan perhatiannya terhadap penghargaan hak-hak asasi manusia, melalui peningkatan kualitas diri manusia berupa tradisi keagamaan.

Berdasarkan filsafat Pancasila dan karakteristik masyarakat Indonesia yang berketuhanan, sangat dimungkinkan mobilisasi ritual keberagamaan di dalam LP dan rutan adalah representasi pembumian aspek kemanusian yang adil dan beradab sebagaimana dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Suatu perubahan orientasi politik pemenjaraan dari sistem hukuman berubah menjadi sistem pemasyarakatan bernuansa pembinaan.

Karena itu, kini berkembang sistem pembinaan narapidana dengan orientasi yang berbasis di masyarakat (community-based corrections). hal itu sekaligus menjadi pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan dan tentunya dapat didukung dengan terjalinnya skema kerja sama sekaligus lahirnya legal formal mengenai sistem pemsyarakatan Indonesia (sipasindo) yang membutuhkan hubungan mutualisme antara narapidana, petugas, dan masyarakat. Hal ini guna mengimbangi muatan moralis dan agamais serta keterampilan hidup bagi narapidana karena cetak biru kelahiran sistem pemasyarakatan, 27 April1964, adalah mencerdasakan kehidupan bangsa serta menyebarkan perdamaian sosial dan lingkungan dalam ide pengayoman.

Sintesis antara kebermaknaan hidup bagi narapidana dengan politik pemenjaraan demikian memiliki persamaan langkah atas lebih dulunya para narapidana dan tahanan bisa kuliah sebagaimana LP Kelas 1 Cipinang Jakarta yang telah membuka Fakultas Hukum, bekerja sama dengan Universitas Bung Karno.

Bahkan setidaknya hampir semua LP telah memiliki sekolah pembinaan. Sekolah ini terselenggara hasil kerjasama antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Depkumham dan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, yang disebut dengan program kegiatan belajar mengajar (PKBM) bagi narapidana. Namun proses yang tanpa pengawasan masyarakat karena pola ketertutupan politik pemenjaraan menjadikan program tersebut jalan di tempat.

Pidana penjara dimaksudkan agar pelaku tindak kriminalitas pidana menyadari kesalahan dan memperbaiki diri agar kembali menjadi manusia yang baik. Di sinilah terjadi kesesuaian antara model pembinaan politik pemenjaraan nasional dan konsep tobat. Karena tobat merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk membersihkan diri dari berbagai bentuk kesalahan dan dosa secara teologi. Tobat dalam pandangan Islam misalnya, berarti rujuí atau kembali pada perbuatan-perbuatan yang baik atau lebih baik. Dalam sistem pemasyarakatan berarti mampu berinteraksi kembali dengan masyarakat setelah melaksanakan tuntutan keadilan.

Jika dilihat dari dari sudut ini, sangat ironis kenyataan interaksi sosial yang terbangun di masyarakat cenderung memberikan stigma negatif terhadap bekas narapidana atau tahanan. Ketiadaan dukungan sosial pada akhirnya menciptakan stress-full yang membuat terasingnya bekas narapidana untuk mengubah diri, yang justru akan berimplikasi negatif dalam melakukan tindakan kriminal agresif.

Tindakan agresif ini dapat dipengaruhi dua faktor dominan, yaitu karena naluri alamiah mencari kebermaknaan diri atas orang lain yang tidak ditemukan dan faktor situasional yang mendukung adanya penguatan (reinforcement) atas tindakan agresif tersebut. Sehingga sering ditemukan narapidana yang langganan keluar masuk penjara.

Mengacu pada landasan tersebut, memasukkan internalisasi kebermaknaan narapidana di tengah lingkungan sosialnya menjadi tugas berat instansi Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Pemasyarakatan. Perlu dipikirkan bagaimana menghilangkan suasana ketertekanan dengan diimbangi adanya proses pembinaan yang terintegralistik antara keterampilan dan nuansa keagamaan.

Paling tidak, realita îkeistimewaanî yang terjadi di Rutan Pondok Bambu adalah bagian dari upaya menghilangkan ketertekanan hidup narapidana secara sosial kendati belum didukung formula yang tepat sehingga dianggap sebagai penyimpangan. (10)


Negara tidak boleh membuat seseorang menjadi lebih jahat atau buruk daripada sebelum orang yang bersangkutan dipidana. Dengan kondisi penjara seperti saat ini—yang lebih mirip gabungan organisasi ketentaraan dan rumah sakit jiwa—mungkinkah hal tersebut terpenuhi?

Penjara itu miniatur masyarakat. Banyak persoalan kemanusiaan di sana," ungkap ahli kriminologi sekaligus pengamat lembaga pemasyarakatan (LP) dari Universitas Indonesia (UI), Thomas Sunaryo.

Ada banyak cerita dari balik penjara yang kini bukan menjadi rahasia.Itu mencerminkan beragam persoalan, mulai dari kapasitas penjara yang mulai tak mampu menampung narapidana (napi), isu kesehatan, isu pungutan liar, dan berbagai isu lainnya.

Thomas menggambarkan situasi penjara yang dianalogikannya dengan gabungan rumah sakit jiwa dan ketentaraan. Sedemikian menyedihkannya sehingga tak hanya napi yang enggan berdekatan dengan lingkungan tersebut. Mayoritas petugas LP atau sekitar 70 persen pun mengaku ingin pindah ke bagian lain jika memungkinkan.

Fakta tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan ahli kriminologi sekaligus pengamat pemasyarakatan itu. Penelitian dilakukan di 20 LP di seluruh Indonesia. Penelitian dilakukan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan HAM
pada 2005.

Berikut petikan wawancara dengan Thomas, saat ditemui di Kampus UI,
Salemba, pekan lalu.




  • Bagaimana Anda melihat penjara?

Penjara, baik manusia maupun lingkungan sosialnya, sebenarnya mencerminkan miniatur dari masyarakat. Di situ banyak sekali persoalan kemanusiaan, bukan cuma masalah napi kabur. Itu hanya seperti puncak gunung es. Hanya saja, penjara ini termasuk lingkungan yang tidak pernah dilihat orang atau unseen environment. Orang tidak tahu apa
yang terjadi di dalamnya.

Penjara itu sebenarnya merupakan sebuah lingkungan yang unik. Unik, karena terdiri atas manusia dari golongan yang beragam, kaya, miskin, suku, maupun agama. Unik, karena penjara itu mirip gabungan organisasi ketentaraan dengan rumah sakit jiwa. Mirip tentara karena setiap orang diperlakukan seragam. Mirip rumah sakit jiwa karena lingkungan penjara merupakan lingkungan yang antitesis terhadap kebebasan orang bertindak. Ini menyebabkan derita psikologis yang lebih berat daripada hukuman fisik.

Orang dipenjara itu kan kehilangan kemerdekaan. Begini saja, Anda mengikuti kuliah jika lebih dari dua jam pasti sudah gelisah. Mereka setiap hari berada di dalam sekat-sekat. Itu pasti membosankan. Belum lagi hilangnya komunikasi dengan orang yang mempunyai hubungan emosional. Ini berakibat macam-macam; cepat marah, kehilangan
kreativitas, kehilangan semangat, apatis, dan perilaku berpura-pura.

Di sisi lain, ada petugas LP berkuasa yang menekankan pada pendekatan keamanan, bukan pembinaan. Karena memang yang dibutuhkan di dalam penjara pendekatan keamanan. Kenapa? Karena kalau ada narapidana yang ribut-ribut atau lari, dia ditegur atasan. Tapi, kalau salah pembinaan, dia tidak kena masalah.

Di dalam LP, ada hubungan simbiosis mutualisme dan diskriminasi di dalam relasi antara napi dan petugas. Ini terjadi karena dua kepentingan tadi, napi ingin mengurangi penderitaannya. Ia menyogok.Petugas memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya.

  • Bukankah memenjara adalah memasyarakatkan?

Di dalam implementasinya, tidak jalan. Kalau lihat gambar tadi, itu
kan pindang.

(Sebelum memulai perbincangan, Thomas memperlihatkan foto-foto situasi dan kondisi LP. Penuh sesak. Di siang hari, napi berserak di mana-mana, hampir di setiap sudut dan ruang terbuka di areal LP. Di malam hari, mereka tidur berbaring seperti ikan pindang yang berjejer.Tak ada sedikitpun sisa ruang untuk mengubah posisi anggota badan.

Kamera Thomas juga sempat menangkap gambar napi yang tidak kebagian tempat di lantai. Napi itu terpaksa tidur bergelantung pada kain sarung yang diikatkan di jeruji sel. Ada pula yang tidur di atas tembok pemisah kamar mandi. Yang satu ini tentu membutuhkan keahlian khusus karena lebar tembok tak lebih dari 30 sentimeter.)

  • Jadi, bagaimana?

Konsep pemasyarakatan itu diperkenalkan oleh Saharjo, ada 10 prinsip
pemasyarakatan. Yang paling bagus, menurut saya, adalah bagian yang menyebutkan negara tidak boleh membuat seseorang lebih jahat atau lebih buruk dari sebelumnya. Artinya, di dalam kacamata negara, napi adalah sumber daya. Napi itu tidak boleh menganggur.

Tapi, itu kembali lagi antara das solen dan das sein yang sangat berlainan. Petugas dihadapkan oleh ketakutan napi akan berantem dan sebagainya, petugas tidak bisa berpikir kreatif.

Di Australia, pembuatan pelat nomor dikerjakan napi. Mereka menyediakan jasa pencucian untuk rumah sakit. Di tempat kita, pada zaman Belanda, kita punya yang semacam itu. LP di Yogyakarta dengan sepatu kulitnya, di Bandung ada usaha percetakan, di Cirebon ada baju. Sekarang tidak bisa karena masalah daya saing.

Beberapa waktu lalu memang ada pengusaha di LP Cipinang yang membuat peternakan ayam. Di penjara, banyak orang potensial yang punya akses ke mana-mana. Tetapi, kenapa ini tidak dilakukan, kembali lagi karena kreativitas petugasnya tidak ada.

Kalau kita tarik ke masalah komitmen, ini yang susah. Kebanyakan orang masuk ke Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) karena tidak ada pilihan lain. Ditanya kalau ada pilihan pindah ke bagian lain, 70 persen mengatakan ya, ingin kerja di bidang lain. Jadi, yang tidak betah di LP tidak hanya napinya, petugasnya juga. Kalau orang bekerja sudah
tidak betah, integritasnya... ya sudah. Yang penting apa adanya.

Namun, konsep ini seharusnya tidak hanya dilihat dari dalam LP saja. Itu juga harus terkait dengan polisi, jaksa, hakim, dan LP sebagai bagian dari criminal justice system. Tetapi, semuanya berjalan sendiri-sendiri. Polisi bertindak mengacu pada UU Kepolisian, buat dia makin cepat menangkap orang makin baik. Jaksa dengan UU Kejaksaan,
hakim dengan UU Kekuasaan Kehakiman. LP dengan UU Pemasyarakatan.



  • Mengapa terjadi?

Karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang memayunginya tidak menjelaskan tujuan atau filosofi dari pemidanaan/hukuman. Hanya dikatakan, barang siapa begini dikenai hukuman sekian tahun. Padahal, tujuan hukuman itu mendasar.

Sebenarnya, konsep pemasyarakatan itu kuncinya di hakim. Dia yang memutuskan seseorang masuk ke LP. Padahal, kenapa harus selalu dimasukkan ke sini sampai pelanggar perda yang dihukum dalam hitungan hari pun juga dipenjara.

Di luar negeri, seorang pengutil dijatuhi hukuman 60 hari. Namun, ia diperbolehkan memilih apakah akan melakoni hukuman tersebut atau memakai baju dari kardus, seperti Kick Andy yang ditulisi I'm thief atau saya pencuri. Ini untuk memberi rasa jera.

Di dalam RUU KUHP yang baru, tujuan pemidanaan disebutkan untuk pemasyarakatan. Kalau ini gol, diharapkan polisi, jaksa, dan hakim tahu apa itu pemasyarakatan.

Reformasi

Persoalan mengenai narapidana memang diakuinya sangat kompleks. Lelaki yang akrab dengan lingkungan penjara itu (sejak belia memang sudah sering berkunjung ke penjara) mengatakan, perlu ada reformasi di bidang pemasyarakatan. Mengenai dari mana reformasi dilakukan, perbaikan dilakukan secara simultan. Internal pemasyarakatan diperbaiki, KUHP juga perlu diperbaiki. Apabila tidak, kata dia, akan seperti bayi prematur karena induknya belum diperbaiki.




Daftar Pustaka







Tidak ada komentar:

Posting Komentar