HAK ASASI MANUSIA
HAM (Hak Asasi Manusia) dalam Penjara
Semua orang juga tahu kalau yang tinggal di dalam penjara adalah seorang
pesakitan yang karena melakukan satu kejahatan akhirnya tertangkap dan untuk
sementara di karantina sehingga tak membahayakan hidup orang lain. Tapi,
sejahat apapun mereka tetaplah mereka manusia yang punya perasaan, punya hati
dan tak boleh seenaknya saja diperlakukan seperti binatang.
Hanya saja di Indonesia ini, yang namanya pelanggaran HAM dalam penjara
tetap saja terjadi. Tak hanya dilakukan oleh para sipir tahanan, antar sesama
penghuni sel pun pelanggaran HAM itu bisa terjadi. Seperti yang baru-baru ini
beredar video pelecehan seksual oleh beberapa sipir penjara terhadap salah satu
tahanannya di daerah Riau. Kenapa hal-hal seperti itu harus terjadi? Ada unsur
kenikmatan apa menyiksa mereka dengan pelecehan seksual seperti itu? Perlakuan
seperti itu menurut saya tidak beradab, tidak sesuai dengan Pancasila. Apalagi
ini dilakukan oleh sipir penjara yang notabene adalah anggota penegak hukum.
Apa manfaat dari perlakuan seperti itu?
Orang tahanan itu adalah pesakitan yang butuh pencerahan untuk memperbaiki
kualitas hidup mereka, janganlah ditambah lagi dengan perlakuan yang tak wajar
seperti itu, yang ada bukannya perubahan kearah kebaikan setelah melalui masa
tahanan, tapi mendatangkan penyakit kejiwaan baru bagi mereka yang
mengalaminya.
Ironis sekali bangsa Indonesia ini. Kualitas aparat keamanannya masih belum
bisa menjunjung HAM. Sebenarnya mereka itu tahu nggak sih bahwa
penyiksaan-penyiksaan seperti itu tidak layak dilakukan apalagi dipertontonkan
di depan tahanan yang lain? Hal ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia saja
rupanya, di luar negeripun pelanggaran HAM dalam penjara juga bisa terjadi.
Seperti yang digambarkan dalam film Sleepers yang menceritakan pelecehan
seksual yang dialami oleh beberapa anak remaja dalam tahanan anak-anak.
Pelecehan itu dilakukan oleh sipir tahanan. Perbuatan itu meninggalkan luka
batin bagi mereka. Menanamkan dendam sehingga keinginan balas dendam pada sipir
penjara yang pernah melecehkan mereka begitu besar.
Pelanggaran HAM ini tak hanya terjadi di lingkungan penjara laki-laki, pada
penjara khusus wanitapun bisa terjadi. Dimana rasa kemanusiaan orang-orang ini?
Mengapa bisa tega melakukannya? Kenapa orang-orang tahanan itu nggak bisa
melakukan hal positif lainnya selain saling melecehkan, saling menunjukkan
ke-senior-an. Aneh ya…dalam penjarapun mereka memiliki rasa bangga bagi yang
sudah lama menghuni sel, merasa senior dan bila ada orang baru yang masuk,
orang baru itu akan diperlakukan semena-mena istilahnya diplonco sampai babak
belur dan menurut saya itu konyol. Ternyata sifat senioritas itu bisa terjadi
dimana-mana, tak hanya dalam lingkungan pendidikan, lingkungan kerja sampai kelas
penjahat pun memiliki sifat itu.
Menurut saya bila ada aparat keamanan terutama sipir penjara yang melakukan
pelanggaran HAM itu wajib diberikan sanksi, sekalipun mereka berdalih untuk
memberi pelajaran tapi, tindakan pelecehan seksual itu tidak dibenarkan dan itu
bukan untukmemberi pelajaran bagi tahanan tapi, memberikan kepuasan batin bagi
sipir penjara itu sendiri. Sungguh perbuatan yang tak bisa dibenarkan. Kepala
penjara harus benar-benar bertindak tegas dalam hal ini.
Perlakukanlah tahanan itu seperti manusia pada umumnya. Mereka itu sama
seperti manusia yang lain hanya saja dalam hal ini mereka berbuat kejahatan
yang merugikan orang lain dan dengan adanya lembaga tahanan ini kan sebagai
tempat para penjahat ini bisa merenungi perbuatannya, membuat mereka merubah
jalan hidupnya dan mudah-mudahan jika keluar dari penjara bisa menjadi manusia
yang lebih baik dari sebelumnya. Dan untuk perubahan itu selain dari diri para
pelakunya, perlu adanya bantuan dari para petugas di penjara, bukannya malah meninggalkan
trauma dan menjadikan mereka pesakitan jiwa. Semoga saja pelanggaran HAM dalam
penjara ini bisa dihilangkan.
Lapas Kita, Jauh Panggang dari Api
DUNIA penjara atau di Indonesia biasa disebut dengan istilah lembaga
pemasyarakatan (LP), kali ini seakan tengah menghadapi cobaan. Praktik
pemberian fasilitas khusus terhadap ”orang khusus”, sedang digugat publik.
Di lapas-lapas tertentu, fenomena itu sebenarnya sudah berlangsung lama dan
turun-temurun. Namun temuan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum atas fasilitas
mewah terhadap terpidana Artalyta Suryani alias Ayin beberapa waktu lalu,
seolah mengugah orang dari tidurnya bahwa telah terjadi ketidakberesan secara
mendasar di lembaga ini. Sebelum berbicara jauh tentang ketidakberesan ini,
mari kita menengok ke belakang tentang apa itu sejatinya LP.
LP atau lapas merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan
anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Lapas merupakan Unit Pelaksana Teknis
di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Depkum HAM)—dahulu Departemen Kehakiman.
Penghuni lapas bisa narapidana atau napi, serta tahanan. Orang cenderung
menyamakan tahanan sama dengan napi, padahal itu berbeda. Tahanan merupakan
tersangka atau terdakwa tindak pidana, yang status hukumnya belum final,
sehingga mereka ini juga disebut tahanan titipan, maksudnya titipan dari
kepolisian (jika masih tersangka), titipan kejaksaan (jika sudah terdakwa),
atau titipan pengadilan (jika perkaranya sudah diserahkan kejaksaan ke pengadilan).
Adapun narapidana merupakan sebutan bagi pelaku pidana yang status hukumnya
sudah final atau berkekuatan hukum tetap.
Ketentuan tentang lapas di Indonesia diatur dalam UU 12/ 1995 tentang
Pemasyarakatan. Selain undang-undang, ada juga regulasi lain dari Depkum HAM
berupa Peraturan Dirjen Pemasyarakatan dan Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan,
menyangkut teknis penataan lapas. Ada juga peraturan berupa Surat Keputusan
Menteri Hukum dan HAM, mengatur hal-hal seperti cuti bersama, dan sebagainya.
Untuk teknis penataan di lapas-lapas, sebagai contoh, sehubungan dengan
sorotan publik atas permasalahan berkaitan perlakuan terhadap narapidana dan
tahanan belakangan ini, Dirjenpas pun menerbitkan surat edaran, yakni SE Nomor
Pas-PK-01.04.01-04 tanggal 13 Januari 2010 tentang penerbitan lapas, rutan, dan
cabang rutan.
Salah satu isi dari SE tersebut, Dirjenpas menegaskan agar seluruh lapas
mencegah timbulnya opini publik yang negatif, dan melarang adanya pemberian
fasilitas pribadi kepada napi/tahanan yang menarik perhatian publik.
Banyak hal lain yang juga diatur dalam Peraturan Dirjenpas dan Surat Edaran
Dirjenpas, seperti pelarangan napi membawa uang sendiri tapi harus dititipkan
di register B, pelarangan pemakaian ponsel di kamar oleh masing-masing napi,
pelarangan masuknya senjata tajam atau benda-benda yang dapat diubah menjadi
senjata tajam seperti sendok logam (yang dibolehkan sendok plastik) dan sikat
gigi (yang dibolehkan sikat gigi yang pegangannya sudah dipendekkan), dan
sebagainya.
Gagasan Pertama
Di Tanah Air, konsep pemasyarakatan kali pertama digagas oleh Menteri
Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962. Disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan
bukan hanya melaksanakan hukuman, namun jauh lebih berat yakni mengembalikan
orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.
Dalam praktiknya, jauh sebelum ini, lapas kerap mendapat kritik atas
perlakuan terhadap para narapidana. Pemberian fasilitas mewah terhadap orang
semacam Ayin, merupakan satu hal yang boleh dibilang keterlaluan. Tapi sebenarnya
banyak hal yang lebih berbahaya.
Cobalah perhatikan kenyataan berikut ini! Sebagian besar napi yang
meninggal karena telah menderita sakit sebelum masuk penjara, dan ketika dalam
penjara kondisi kesehatan mereka semakin parah karena kurangnya perawatan,
rendahnya gizi makanan, serta buruknya sanitasi dalam lingkungan penjara. Pada
tahun 2006, hampir 10% di antaranya meninggal dalam lapas.
Banyak contoh menyangkut hal tersebut belakangan ini. Di Jawa Tengah
misalnya, kisah napi atau tahanan yang depresi, melarikan diri, bunuh diri,
tewas di dalam penjara karena sakit parah, sampai tahun lalu dan awal tahun
2010 ini masih sering kita baca di koran-koran dan tonton di televisi. Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jateng Chaeruddin Idrus membantah kematian itu
disebabkan buruknya fasilitas kesehatan di lembaga pemasyarakatan. Namun
kenyataannya hal semacam itu masih saja terjadi.
Lapas juga disorot menghadapi persoalan beredarnya obat-obatan terlarang di
kalangan napi dan tahanan, serta kelebihan penghuni. Soal ini memang tidak
terbantahkan. Di Nusakambangan, lapas yang paling terkenal di Indonesia,
peredaran narkoba masih marak hingga saat ini. Barang haram itu dipasok oleh
pembesuk dengan berbagai cara. Meski barangkali belum ada bukti bahwa peredaran
itu tidak melibatkan sipir, harus diakui bahwa pengedar obat-obat terlarang itu
selangkah lebih maju ketimbang petugas.
Standar Internasional
Manajemen penjara di Tanah Air hingga saat ini masih sangat jauh dari yang
ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB antara lain menetapkan ruang
sel harus dihuni sendiri. Selain itu, kamar mandi dan tempat buang hajat harus
tersedia layak, pakaian harus bersih, serta makanan dan minuman harus sesuai
dengan syarat-syarat kesehatan.
Kenyataannya, persyaratan tersebut masih jauh panggang dari api. Napi
selain dijejal dalam satu sel, juga sulit mendapatkan air bersih. Handuk pun
dipakai secara bergantian. Itulah sebabnya penyakit menular, seperti kudis,
hepatitis, dan TBC, berkembang sangat cepat di penjara.
Manajemen lapas, meski tidak semuanya, ada juga yang tidak membedakan
narapidana yang terinfeksi HIV/AIDS maupun yang sehat. Mereka yang mestinya
masuk panti rehabilitasi ditempatkan pada satu sel yang sama dengan residivis
dan napi yang sehat. Itulah sebabnya penularan penyakit berlangsung cepat di
dalam LP.
Dari sisi keamanan, hampir semua penjara tidak dilengkapi CCTV (closed
circuit television), sinar X, metal detector, dan jammer atau alat pemutus
jaringan telepon seluler dengan dunia luar. Itu sebabnya berbagai obat dan
barang berbahaya leluasa masuk ke dalam lingkungan penjara.
Dalam kondisi semacam ini, rasanya konsep pemasyarakatan yang digagas
Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962 semakin jauh untuk diwujudkan.
Menurut Sahardjo, tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman
(sehingga seseorang) kehilangan kemerdekaan saja. Tugas yang jauh lebih berat,
tetapi lebih murni adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana itu ke
dalam masyarakat.
Tetapi konsep itu sudah jauh melenceng. Penjara saat ini hanya dipandang
sebagai tempat penghukuman. Bahkan ada yang bilang, bagi narapidana LP Cipinang
Jakarta, penjara itu kini jadi tempat untuk mengantarkan yang bersangkutan
menuju maut. Departemen Hukum dan HAM menjadi tempat yang marak terjadinya
pelanggaran HAM itu sendiri.
Problema
Kenapa hal itu bisa terjadi? Salah satu yang dikemukakan Menkum HAM
Patrialis Akbar maupun para menteri sebelumnya, juga digembar-gemborkan oleh
para kepala Kanwil Depkum HAM adalah terbatasnya anggaran negara dalam
pengelolaan lapas-lapas.
Terbatasnya anggaran pula yang memunculkan lapas itu menjadi over
kapasitas, kesejahteraan pegawai yang minim, dan sebagainya. Tingkat
kesejahteraan pegawai dan sipir, jika dibandingkan dengan aparat penegak hukum
lainnya juga jauh lebih rendah.
Sebagai contoh, anggaran kesehatan narapidana, menurut pengakuan salah
seorang mantan kepala Kanwil Depkum HAM yang enggan disebut namanya, pada tahun
2007, per narapidana tiap triwulan rata-rata hanya dijatah Rp 5 (lima rupiah).
Untuk anggaran makan, menurut bekas narapidana di LP Kedungpane Semarang
yang baru saja keluar beberapa waktu lalu, sehari jatah makan napi pada tahun
2010 ini turun dari Rp 10.000 menjadi Rp 8.000/napi/hari (untuk tiga kali
makan). Angka itu masih dikurangi biaya gas sehingga per hari jatah makan itu
hanya Rp 6.500.
Minimnya anggaran itu, selalu menjadi dasar atas problem-problem yang
muncul di lapas. Termasuk menjadi alasan kenapa seorang sipir yang tadinya
lugu, terpaksa berbuat nakal atau bekerja sama dengan napi melakukan tindakan
yang menyalahi aturan.
Sebenarnya berapa anggaran untuk Departemen Hukum dan HAM? Berkaca dari
data tahun 2008, anggaran APBN untuk departemen ini telah mencapai Rp 4,84
triliun. Itu lebih tinggi dari Kejaksaan Agung RI yang hanya Rp 2 triliun,
namun lebih rendah dibandingkan Mahkamah Agung yang mencapai Rp 6,45 triliun, dan lebih rendah dari Polri
yang mencapai Rp 23,34 triliun. Tahun 2009 dan 2010, anggaran Depkum HAM dan
lembaga penegak hukum lainnya tentu tidak jauh dari nilai itu.
Benarkah memang itu tidak cukup layak bagi Depkum HAM? Dari angka itu,
seberapa besar anggaran untuk lapas di Indonesia? Seberapa besar pengaruhnya
dalam relasi antara anggaran (yang dianggap minim tersebut) terhadap
penyimpangan-penyimpangan di dalam lapas? Dan berapa seharusnya anggaran yang
normal bagi lapas? Ataukah itu sebenarnya sudah normal namun dikorupsi?
Anggaran negara untuk lapas, memang merupakan fondasi atas bangunan
kehidupan dan budaya di lapas. Sejauh ini tampaknya belum ada penelitian
komprehensif yang terpublikasikan menyangkut itu semua. Yang ada baru
pernyataan-pernyataan pejabat terkait dan fakta-fakta miring menyangkut seputar
keganjilan-keganjilan di lapas yang muncul secara sporadis. Siapa tertarik mau
menelitinya? (Yunantyo Adi S-62)
Ø Kasus Rutan Pondok Bambu Ujian bagi Menkum
dan HAM
KEGUNCANGAN politik pemenjaraan di Indonesia kini sedang terjadi. Artalyta
Suryani alias Ayin, ternyata bisa menikmati fasilitas mewah di Rumah Tahanan
(Rutan) Pondok Bambu Jakarta Timur. Penghakiman publik pun mulai mengarah agar
terjadi perbaikan dalam sistem pemenjaraan yang selama ini dianggap tertutup
menjadi terbuka.
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar akhirnya turun tangan lewat inspeksi
mendadak (sidak) di beberapa rutan dan lembaga pemasyarakatan (LP). Langkahnya
itu kemudian diikuti oleh personel Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia
Hukum.
Satgas Antimafia Hukum, sebutan lain untuk satuan tugas itu, sudah
memperoleh banyak informasi bahwa ada ”istana” di dalam penjara yang diduga
mengarah pada permainan uang antara narapidana dan oknum petugas rutan dan LP.
Maka, secara sekilas pembuktian akumulasi informasi itupun terjadi bahwa di
balik ketertutupan tersimpan rahasia besar adanya fasilitas khusus bagi
narapidana yang diistimewakan sebagaimana di Rutan Pondok Bambu.
Ada beberapa aspek realitas ketidakadilan di seputar ramainya pemberitaan
media tentang dugaan kastanisasi narapidana oleh petugas rutan dan LP. Pertama,
kasus ramainya pemberitaan Rutan Pondok Bambu yang telah dominan merebut
perhatian publik, pada saat yang sama justru menunjukkan adanya sistem
penganggaran dan kebijakan turun-temurun yang tidak memedulikan realitas
buruknya keadaan fisik dan keadaan sosial penjara.
Tanpa disadari, keterbukaan akses dunia luar masuk ke dalam penjara pada
akhirnya akan membenarkan bahwa keadaan over capacity dan minimnya anggaran
untuk biaya hidup narapidana harus diperbaiki.
Kedua, kasus ramainya pemberitaan yang cenderung mengarahkan pada satu
kesimpulan bahwa fasilitas tertentu dapat dinikmati oleh sekelumit narapidana
atau tahanan, akan mengarahkan pada perlunya rumusan standar bangunan yang
layak secara kemanusiaan terhadap penghuninya. Realitas itu selalu sangat
multidimensional karena lingkungan fisik yang buruk jelas akan memengaruhi
tingkat kesehatan mental seseorang.
Artinya, jika fasilitas buruk yang selama ini bertahan di penjara dan
dikontraskan adanya ruangan ”hotel”, tentu pihak LP atau rutan berupaya
menghadirkan sisi-sisi lain untuk membantu narapidana atau tahanan keluar dari
keadaan ketertekanan dan kehidupan yang lebih sehat. Dari sinilah delik prahara
kepentingan bermain.
Kita saat ini melihat betapa banyak perbedaan antara idealita dan realita
yang berlangsung dalam bangunan sistem pemenjaraan. Kasus tertembaknya sipir
penjara yang disusul dengan kaburnya narapidana dari LP Sukamiskin, Bandung,
Minggu, Desember 2009, mengagetkan banyak kalangan. Kenyataan ini pada akhirnya
menjadi contoh bahwa hampir di semua LP dan rutan di Indonesia, tekanan
lingkungan baik fisik maupun sosial menjadi hal yang sangat memengaruhi napi
dan tahanan untuk kabur. Pada sisi lain sistem pengamanan tidak berjalan
maksimal karena terkendala anggaran dan prosedur.
Hal ini sebagaimana studi Jencks dan Mayer, The Social Consequences of
Growing Up in A Poor Neighborhood (1990) yang menjelaskan bahwa terdapat
korelasi yang erat antara kriminalitas dan lingkungan fisik yang buruk karena
menyangkut penurunan tingkat kesehatan mental bahwa tidak ada kebermaknaan
hidup yang dirasakan. Ketidakbermaknaan tersebut misalnya diungkapkan oleh
Menkumham bahwa napi dan tahanan bagaikan ikan sepat yang dipaksa menghuni
ruangan sempit, jangankan tidur, untuk berbaring juga susah.
Dalam kebeningan pikiran dan nurani, setiap manusia terlahirkan dalam
keadaan yang suci. Keterbatasan berinteraksi dengan lingkungan sosial dan
lingkungan fisik yang kiranya memiliki peran menjadikan adanya perubahan
potensi menjadi buruk. Hal demikian menjadi salah satu ciri terpenting
peradaban agama-agama dalam memberikan perhatiannya terhadap penghargaan
hak-hak asasi manusia, melalui peningkatan kualitas diri manusia berupa tradisi
keagamaan.
Berdasarkan filsafat Pancasila dan karakteristik masyarakat Indonesia yang
berketuhanan, sangat dimungkinkan mobilisasi ritual keberagamaan di dalam LP
dan rutan adalah representasi pembumian aspek kemanusian yang adil dan beradab
sebagaimana dalam UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Suatu
perubahan orientasi politik pemenjaraan dari sistem hukuman berubah menjadi
sistem pemasyarakatan bernuansa pembinaan.
Karena itu, kini berkembang sistem pembinaan narapidana dengan orientasi
yang berbasis di masyarakat (community-based corrections). hal itu sekaligus
menjadi pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan dan tentunya dapat
didukung dengan terjalinnya skema kerja sama sekaligus lahirnya legal formal
mengenai sistem pemsyarakatan Indonesia (sipasindo) yang membutuhkan hubungan
mutualisme antara narapidana, petugas, dan masyarakat. Hal ini guna mengimbangi
muatan moralis dan agamais serta keterampilan hidup bagi narapidana karena
cetak biru kelahiran sistem pemasyarakatan, 27 April1964, adalah mencerdasakan
kehidupan bangsa serta menyebarkan perdamaian sosial dan lingkungan dalam ide
pengayoman.
Sintesis antara kebermaknaan hidup bagi narapidana dengan politik
pemenjaraan demikian memiliki persamaan langkah atas lebih dulunya para
narapidana dan tahanan bisa kuliah sebagaimana LP Kelas 1 Cipinang Jakarta yang
telah membuka Fakultas Hukum, bekerja sama dengan Universitas Bung Karno.
Bahkan setidaknya hampir semua LP telah memiliki sekolah pembinaan. Sekolah
ini terselenggara hasil kerjasama antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Depkumham dan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, yang
disebut dengan program kegiatan belajar mengajar (PKBM) bagi narapidana. Namun
proses yang tanpa pengawasan masyarakat karena pola ketertutupan politik
pemenjaraan menjadikan program tersebut jalan di tempat.
Pidana penjara dimaksudkan agar pelaku tindak kriminalitas pidana menyadari
kesalahan dan memperbaiki diri agar kembali menjadi manusia yang baik. Di
sinilah terjadi kesesuaian antara model pembinaan politik pemenjaraan nasional
dan konsep tobat. Karena tobat merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk membersihkan
diri dari berbagai bentuk kesalahan dan dosa secara teologi. Tobat dalam
pandangan Islam misalnya, berarti rujuí atau kembali pada perbuatan-perbuatan
yang baik atau lebih baik. Dalam sistem pemasyarakatan berarti mampu
berinteraksi kembali dengan masyarakat setelah melaksanakan tuntutan keadilan.
Jika dilihat dari dari sudut ini, sangat ironis kenyataan interaksi sosial
yang terbangun di masyarakat cenderung memberikan stigma negatif terhadap bekas
narapidana atau tahanan. Ketiadaan dukungan sosial pada akhirnya menciptakan
stress-full yang membuat terasingnya bekas narapidana untuk mengubah diri, yang
justru akan berimplikasi negatif dalam melakukan tindakan kriminal agresif.
Tindakan agresif ini dapat dipengaruhi dua faktor dominan, yaitu karena
naluri alamiah mencari kebermaknaan diri atas orang lain yang tidak ditemukan
dan faktor situasional yang mendukung adanya penguatan (reinforcement) atas
tindakan agresif tersebut. Sehingga sering ditemukan narapidana yang langganan
keluar masuk penjara.
Mengacu pada landasan tersebut, memasukkan internalisasi kebermaknaan
narapidana di tengah lingkungan sosialnya menjadi tugas berat instansi
Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Pemasyarakatan. Perlu dipikirkan
bagaimana menghilangkan suasana ketertekanan dengan diimbangi adanya proses
pembinaan yang terintegralistik antara keterampilan dan nuansa keagamaan.
Paling tidak, realita îkeistimewaanî yang terjadi di Rutan Pondok Bambu
adalah bagian dari upaya menghilangkan ketertekanan hidup narapidana secara
sosial kendati belum didukung formula yang tepat sehingga dianggap sebagai
penyimpangan. (10)
Negara tidak boleh membuat seseorang menjadi lebih jahat atau buruk daripada
sebelum orang yang bersangkutan dipidana. Dengan kondisi penjara seperti saat
ini—yang lebih mirip gabungan organisasi ketentaraan dan rumah sakit
jiwa—mungkinkah hal tersebut terpenuhi?
Penjara itu miniatur masyarakat. Banyak persoalan kemanusiaan di sana,"
ungkap ahli kriminologi sekaligus pengamat lembaga pemasyarakatan (LP) dari
Universitas Indonesia (UI), Thomas Sunaryo.
Ada banyak cerita dari balik penjara yang kini bukan menjadi rahasia.Itu
mencerminkan beragam persoalan, mulai dari kapasitas penjara yang mulai tak
mampu menampung narapidana (napi), isu kesehatan, isu pungutan liar, dan
berbagai isu lainnya.
Thomas menggambarkan situasi penjara yang dianalogikannya dengan gabungan
rumah sakit jiwa dan ketentaraan. Sedemikian menyedihkannya sehingga tak hanya
napi yang enggan berdekatan dengan lingkungan tersebut. Mayoritas petugas LP
atau sekitar 70 persen pun mengaku ingin pindah ke bagian lain jika
memungkinkan.
Fakta tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan ahli kriminologi
sekaligus pengamat pemasyarakatan itu. Penelitian dilakukan di 20 LP di seluruh
Indonesia. Penelitian dilakukan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Departemen Hukum dan HAM
pada 2005.
Berikut petikan wawancara dengan Thomas, saat ditemui di Kampus UI,
Salemba, pekan lalu.
- Bagaimana Anda melihat penjara?
Penjara, baik manusia maupun lingkungan sosialnya, sebenarnya mencerminkan
miniatur dari masyarakat. Di situ banyak sekali persoalan kemanusiaan, bukan
cuma masalah napi kabur. Itu hanya seperti puncak gunung es. Hanya saja,
penjara ini termasuk lingkungan yang tidak pernah dilihat orang atau unseen
environment. Orang tidak tahu apa
yang terjadi di dalamnya.
Penjara itu sebenarnya merupakan sebuah lingkungan yang unik. Unik, karena
terdiri atas manusia dari golongan yang beragam, kaya, miskin, suku, maupun
agama. Unik, karena penjara itu mirip gabungan organisasi ketentaraan dengan
rumah sakit jiwa. Mirip tentara karena setiap orang diperlakukan seragam. Mirip
rumah sakit jiwa karena lingkungan penjara merupakan lingkungan yang antitesis
terhadap kebebasan orang bertindak. Ini menyebabkan derita psikologis yang
lebih berat daripada hukuman fisik.
Orang dipenjara itu kan kehilangan kemerdekaan. Begini saja, Anda mengikuti
kuliah jika lebih dari dua jam pasti sudah gelisah. Mereka setiap hari berada
di dalam sekat-sekat. Itu pasti membosankan. Belum lagi hilangnya komunikasi
dengan orang yang mempunyai hubungan emosional. Ini berakibat macam-macam;
cepat marah, kehilangan
kreativitas, kehilangan semangat, apatis, dan perilaku berpura-pura.
Di sisi lain, ada petugas LP berkuasa yang menekankan pada pendekatan keamanan,
bukan pembinaan. Karena memang yang dibutuhkan di dalam penjara pendekatan
keamanan. Kenapa? Karena kalau ada narapidana yang ribut-ribut atau lari, dia
ditegur atasan. Tapi, kalau salah pembinaan, dia tidak kena masalah.
Di dalam LP, ada hubungan simbiosis mutualisme dan diskriminasi di dalam
relasi antara napi dan petugas. Ini terjadi karena dua kepentingan tadi, napi
ingin mengurangi penderitaannya. Ia menyogok.Petugas memanfaatkan kekuasaan
yang dimilikinya.
- Bukankah memenjara adalah memasyarakatkan?
Di dalam implementasinya, tidak jalan. Kalau lihat gambar tadi, itu
kan pindang.
(Sebelum memulai perbincangan, Thomas memperlihatkan foto-foto situasi dan
kondisi LP. Penuh sesak. Di siang hari, napi berserak di mana-mana, hampir di
setiap sudut dan ruang terbuka di areal LP. Di malam hari, mereka tidur
berbaring seperti ikan pindang yang berjejer.Tak ada sedikitpun sisa ruang
untuk mengubah posisi anggota badan.
Kamera Thomas juga sempat menangkap gambar napi yang tidak kebagian tempat
di lantai. Napi itu terpaksa tidur bergelantung pada kain sarung yang diikatkan
di jeruji sel. Ada pula yang tidur di atas tembok pemisah kamar mandi. Yang
satu ini tentu membutuhkan keahlian khusus karena lebar tembok tak lebih dari
30 sentimeter.)
- Jadi, bagaimana?
Konsep pemasyarakatan itu diperkenalkan oleh Saharjo, ada 10 prinsip
pemasyarakatan. Yang paling bagus, menurut saya, adalah bagian yang menyebutkan
negara tidak boleh membuat seseorang lebih jahat atau lebih buruk dari
sebelumnya. Artinya, di dalam kacamata negara, napi adalah sumber daya. Napi
itu tidak boleh menganggur.
Tapi, itu kembali lagi antara das solen dan das sein yang sangat berlainan.
Petugas dihadapkan oleh ketakutan napi akan berantem dan sebagainya, petugas
tidak bisa berpikir kreatif.
Di Australia, pembuatan pelat nomor dikerjakan napi. Mereka menyediakan
jasa pencucian untuk rumah sakit. Di tempat kita, pada zaman Belanda, kita
punya yang semacam itu. LP di Yogyakarta dengan sepatu kulitnya, di Bandung ada
usaha percetakan, di Cirebon ada baju. Sekarang tidak bisa karena masalah daya
saing.
Beberapa waktu lalu memang ada pengusaha di LP Cipinang yang membuat peternakan
ayam. Di penjara, banyak orang potensial yang punya akses ke mana-mana. Tetapi,
kenapa ini tidak dilakukan, kembali lagi karena kreativitas petugasnya tidak
ada.
Kalau kita tarik ke masalah komitmen, ini yang susah. Kebanyakan orang masuk
ke Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) karena tidak ada pilihan lain. Ditanya
kalau ada pilihan pindah ke bagian lain, 70 persen mengatakan ya, ingin kerja
di bidang lain. Jadi, yang tidak betah di LP tidak hanya napinya, petugasnya
juga. Kalau orang bekerja sudah
tidak betah, integritasnya... ya sudah. Yang penting apa adanya.
Namun, konsep ini seharusnya tidak hanya dilihat dari dalam LP saja. Itu
juga harus terkait dengan polisi, jaksa, hakim, dan LP sebagai bagian dari
criminal justice system. Tetapi, semuanya berjalan sendiri-sendiri. Polisi
bertindak mengacu pada UU Kepolisian, buat dia makin cepat menangkap orang
makin baik. Jaksa dengan UU Kejaksaan,
hakim dengan UU Kekuasaan Kehakiman. LP dengan UU Pemasyarakatan.
- Mengapa terjadi?
Karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang memayunginya tidak menjelaskan
tujuan atau filosofi dari pemidanaan/hukuman. Hanya dikatakan, barang siapa
begini dikenai hukuman sekian tahun. Padahal, tujuan hukuman itu mendasar.
Sebenarnya, konsep pemasyarakatan itu kuncinya di hakim. Dia yang memutuskan
seseorang masuk ke LP. Padahal, kenapa harus selalu dimasukkan ke sini sampai
pelanggar perda yang dihukum dalam hitungan hari pun juga dipenjara.
Di luar negeri, seorang pengutil dijatuhi hukuman 60 hari. Namun, ia diperbolehkan
memilih apakah akan melakoni hukuman tersebut atau memakai baju dari kardus,
seperti Kick Andy yang ditulisi I'm thief atau saya pencuri. Ini untuk memberi
rasa jera.
Di dalam RUU KUHP yang baru, tujuan pemidanaan disebutkan untuk pemasyarakatan.
Kalau ini gol, diharapkan polisi, jaksa, dan hakim tahu apa itu pemasyarakatan.
Reformasi
Persoalan mengenai narapidana memang diakuinya sangat kompleks. Lelaki yang
akrab dengan lingkungan penjara itu (sejak belia memang sudah sering berkunjung
ke penjara) mengatakan, perlu ada reformasi di bidang pemasyarakatan. Mengenai
dari mana reformasi dilakukan, perbaikan dilakukan secara simultan. Internal
pemasyarakatan diperbaiki, KUHP juga perlu diperbaiki. Apabila tidak, kata dia,
akan seperti bayi prematur karena induknya belum diperbaiki.
Daftar Pustaka
- http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=9555
- http://bataviase.co.id/detailberita-10504044.html
- http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg14659.html
- http://prismanalumsari.wordpress.com/2010/01/14/delik-prahara-pemenjaraan-artalyta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar